Fragment One: Boy Meets Stranger-??:??, ?????????
Pagi hari di sebuah sudut kota. Pagi itu angin sejuk berhembus. Suasana sudut kota waktu itu masih hening. Tampak beberapa orang berjalan di jalanan kota, namun mereka langsung masuk ke bangunan terdekat. Tidak tampak mereka pergi untuk bekerja. Lebih seperti mencari tempat untuk berlindung.
Di sudut kota itu terdapat sebuah bar. Nama bar itu adalah Happy bar. Pagi hari itu belum banyak yang berada di dalam bar. Dua orang terlihat sedang berbincang santai.
“Huh,” Seorang bertubuh kekar melepas keluhan panjang. “Penduduk tampak panik.”
Dia seorang berambut putih. Jenggot putihnya mungkin bisa mengukur seberapa bijak perkataannya barusan. Dia melihat keluar jendela jauh di seberang meja yang ditempatinya. Beberapa kali disangga kepalanya dengan kedua telapak tangan dihimpitkan seperti sedang berpikir. Di meja terdapat sebuah sarung tangan besi yang dia lepas. Jika dilihat dari kejauhan orang itu tampak seperti seorang kesatria. Zirah hitam dan jubah putih tampak gagah di tubuhnya yang kekar. Sebuah medali terpasang di jubahnya. Sebuah motif terukir di medali itu. Tidak terlihat seperti lambang kerajaan ataupun lambang keluarga bangsawan. Sebuah cristal berbentuk lonjong dengan sayap berbentuk seperti daun bejumlah tiga di setiap sisinya.
Dia mengambil sebuah gelas kayu seukuran kepalanya. Dilihatnya bias wajah dirinya di permukaan minuman yang berada di depan wajahnya.
Waktu cepat berlalu... pikirnya melihat raut wajahnya yang mulai menua.
“Koloni Crystal tidak diketahui keberadaannya. Dan bangsa elf mulai diusir dari kerajaan ini.” Dia berhenti beberapa saat dan, “Dan mereka menganggap bahwa kerajaan ini sudah bersih?”
“Hmm...” Seorang lain di depan mejanya sedang berpikir mencoba menjawab pertanyaan teman minum di depannya.
Dia seorang yang lebih muda. Rambutnya putih agak kebiruan. Dia memakai baju berkerah tinggi, dan sebuah jubah biru dengan pelindung di pundak kirinya. Sebuah medali yang sama dengan laki-laki di depannya melekat di jubahnya.
Di samping laki-laki itu seorang anak berusia enambelasan tertidur lelap. Dia mengenakan hem biru, sebuah pelindung yang menutupi setengah pundak kirinya, dan sebuah jubah biru dengan pelindung pundak bermotif sama seperti kedua laki-laki lain.
Laki-laki muda melihat meja di depannya. Dua buah gelas besar dan sebuah gelas kecil. Di tengah meja terdapat sebuah piring dengan empat potong roti di atasnya. Dia mengambil satu roti. Dan menggitnya sekali. Setelah selesai menelan roti itu dia mulai bicara.
“Mungkin bawahan raja mulai lepas kendali,” jawabnya tenang.
“Kau terlalu positif, Whi-“ Dia berhenti melihat laki-laki di depannya mengacungkan jari mengisyaratkan untuk diam. Melihat orang-orang di sekitarnya terlihat siaga, dia berdehem. “Ehem. Maksudku Shiro. Tidak bisakah kau berpikir buruk pada seseorang sekali saja?”
Suasana mulai kembali tenang tepat saat laki-laki tua menyebut nama ‘Shiro’.
“Sangat tidak bijak jika aku menilai seorang dari luarnya saja, kan? Mungkin sang raja memerintah terlalu lama sehingga dia kehilangan kendali, tidak bisakah kita berhenti di situ saja, Ymir?”
“Kalau perkataanmu benar... pasti tentang pengumuman lima tahun lalu juga menjadi salah satu fak-”
“Shh...” Kembali laki-laki bernama Shiro mengacungkan jari telunjuknya. “Kamu akan membangunkannya, Ymir.”
Ymir melihat ke laki-laki di samping Shiro. Dia berusaha membuka matanya beberapa kali. Namun dia tidak berhasil bangun.
“Kenapa kau tidak biarkan saja dia bangun?”
“Kalau dia mendengar percakapan kita, dia pasti akan meminta untuk diberitahu.”
“Haha... tak bisa dipungkiri. Seorang yang diberi gelar jenius di umurnya yang lima belas tahun bukanlah sebuah bualan. Kenapa tidak membiarkannya? Dia mungkin bisa menemukan solusi yang tidak bisa kita temukan.”
“Tidak, kamu sudah lupa aturan kita?”
“Benar...” Ymir berdiri dan meneguk habis minumannya. Kemudian menarik sepotong roti di piring menggitit roti itu sementara dia mengenakan sarung tangan besinya. “Kalau begitu ayo kita berpatroli.”
Ymir menepuk pundak Shiro yang sedang menghabiskan rotinya. Shiro berhenti sejenak. Dia berusaha mengingat sesuatu. Namun tarikan Ymir di jubahnya membuatnya berhenti mengingat sesuatu itu.
“Master, kami tinggal uangnya di meja.”
“Hmm...” Penjaga bar melihat ke arah anak laki-laki yang masih terlelap di meja. Mereka bertiga masuk bersamaan, kecil kemungkinan mereka tidak saling mengenal, pikir si penjaga bar. “Kalian tidak lupa sesuatu?”
“Hmm.... kalau kupikir-pikir aku lupa sesuatu....” Shiro menjawab agak pelan. Namun dia tidak yakin.
“Ya, ya... kalian sepertinya lupa sesuatu.”
Si penjaga bar mengangguk setuju.
“Lupakan saja,” Ymir menepuk pundak temannya. “Pasti itu tidak penting...”
Si penjaga bar kaget.
“Kau benar...”
Si penjaga bar mulai tidak sabaran. Dia menunjuk anak laki-laki yang terlelap di meja.
“Apakah kalian tidak lupa dia?”
“Eh?” Shiro melihat ke laki-laki yang sedang terlelap. “Aku lupa anakku itu?”
Si penjaga bar kaget, bahkan dia terbayang Seorang bisa lupa anaknya sendiri.
Shiro mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Dia mengeluarkan sebuah kantung. Lalu memberikannya kepada penjaga bar.
“Berikan ini pada anakku.”
“Kalau begitu sampai jumpa, master!”
Mereka berdua menghilang di balik pintu bar. Si penjaga bar hanya bisa bengong mendengar ucapan ayah dari anak itu.
Si penjaga bar hanya bisa menganga sambil mengambil bayaran mereka.
***-??:??, ????????
“....!”
Dia terbangun. Dengan menggelengkan kepanya sedikit dia mulai bisa merasakan suasana di sekitarnya.
Bar mulai ramai. Berbeda dengan saat dia masuk. Tadinya baru ada beberapa orang dan sekarang bar hampir penuh. Bahkan tinggal meja yang dia berada yang belum ditempati orang lain.
“Oh, kau bangun juga, nak?!”
“...?”
Dia melihat ke penjaga bar.
“Ini, tangkap.” Si penjaga bar melempar sebuah kantung. Setelah si anak laki-laki menangkap kantung itu si penjaga bar melanjutkan, “Itu dari ayahmu.”
“Di mana mereka?”
“Mereka sudah pergi sekitar dua jam yang lalu.”
Mendengar itu dia mengepalkan tangannya.
“Dua orang tua itu!”
Sejenak dia hampir meluapkan kemarahannya dengan teriakan keras. Namun dia menahannya. Dia menarik napas sambil memperhatikan tangan kirinya yang tersembunyi dibalik jubahnya. Terlihat sebuah cahaya menyala dan hampir padam di sana. Seiring dengan mereda emosinya, dia memperhatikan kantung yang dia pegang dengan seksama. Dia menggerakkan tangannya. Terdengar suara logam gemercik.
“Emas, dan... sebuah persegi panjang...?”
Bentuk persegi panjang itu memunculkan pertanyaan. Dia tidak pernah menemui bentuk seperti ini. Setidaknya jika persegi panjang yang dia tahu biasanya adalah sebuah buku atapun tempat untuk tinta cap. Namun biasanya benda-benda itu memiliki permukaan yang kasar. Benda-benda seperti itu di negeri ini biasanya memiliki motif ataupun ukiran tertentu yang membuat permukaannya tidak rata.
“Hmm...” Dia membuka kantung itu. Terdapat tiga keping emas dan sebuah benda persegi panjang yang tidak asing baginya. “Kalau tidak salah ini adalah alat komunikasi yang sering ayah gunakan...”
Dia menekan sudut benda yang dia pegang itu mengingat apa yang ayahnya lakukan untuk mengaktifkan benda itu. Beberapa detik kemudian benda itu menyala memunculkan sinar putih dan setelah beberapa saat kemudian muncul tampilan yang bertuliskan “AIDA”. Setelah menunggu beberapa detik, muncul sebuah tampilan baru. Beberapa gambar yang berada dalam segi enam berwarna biru transparan.
“Mungkin ini yang dimaksud dengan gambar digital....”
Dia melihat ke meja yang dia tempati. Ada dua buah roti di atas piring dan sebuah minuman di gelas kecil. Dia mengambil sepotong roti sambil meletakkan alat komunikasi yang dia pegang tadi.
“Hmm... kenapa masih tersisa dua potong roti?”
Dia berpikir sejenak. Kemudian dia mengambil potongan roti yang lain. Kemudian memasukkan roti itu ke tas kecil yang ada di balik punggungnya. Di dalamnya sudah terdapat plastik. Di samping tas bisa dilihat sebuah pedang besi bergantung.
-Kau mendapat sebuah roti
“..!”
Suara itu maengagetkannya. Dia mencari sumber suara itu. Namun dia tidak mendengar lanjutan dari suara itu. Dari suara tadi bisa dikatakan berasal dari perempuan.
“Hmm...” Dia hanya diam dan memakan roti lainnya. Kemudian dia minum.
-Energi terisi penuh
Sekali lagi suara dengan nada yang sama terdengar. Si laki-laki tidak bisa menahan pertanyaannya lagi.
“Siapa itu?”
“Aku Aida, bukan itu!” jawabnya.
“Siapa kau?” tanyanya dengan tenang.
“Aku Aida, bukan kau!”
“AIDA?”
“Aida! bukan AIDA.”
“Apa yang kau maksud?”
“Aku Aida, bukan kau!!”
Suara itu terdengar makin keras. Si laki-laki melihat ke arah alat komunikasi yang dia taruh di meja. Jika tidak salah suaranya berasal dari benda itu. Dia mengambil alat komunikasi itu dan melihat ke layarnya.
“Hmmp!”
Seorang perempuan yang terlihat sedang marah berkacak pinggang sambil menggembungkan pipinya di bagian kanan layar. Sebuah topi berwarna merah berhiaskan benda berupa seperti tanduk berwarna biru dengan merah di ujungnya tampak menempel pada rambut hitamnya. Gambar si laki-laki juga muncul di bagian kiri layar.
“Namaku Aida bukan AIDA!”
Beriringan dengan suara itu muncul sebuah kotak teks sama dengan apa yang dia ucapkan. Si laki-laki hanya bisa memainkan rambutnya dengan tangan kanan sambil menaruh alat itu di meja. Dia terus memperhatikan.
“Hmm.... jadi ini yang dinamakan AI?”
“Yup.... seperti itulah.”
“Kalau begitu... namamu Aida.”
“Yup....”
Si laki-laki belum mengakhiri tangan kanannya yang masih memainkan rambutnya seperti masih ada yang ingin dia tanyakan.
“Bagaimana kamu bisa mengerti jika aku menyebut AIDA?”
“Aku dilengkapi sensor yang bisa mendeteksi perkataan dan mengubahnya ke dalam teks.”
“Hmmm..... bisa dimengerti... Tapi kenapa kamu sepertinya agak membedakan keduanya?”
“AIDA adalah nama sistem dari alat komunikasi yang anda pegang...”
“Kalau begitu bukankah sama saja AIDA dan Aida?”
“Tidak.... Aku lebih suka dipanggil Aida.”
Si laki-laki berhenti memainkan rambutnya. Dia terkejut yang dikatakan Aida.
AI yang memiliki kemauan.... apakah yang menciptakan teknologi ini ingin menciptakan manusia?
“Hmm...” Dia kembali memainkan rambutnya. “Aku tidak akan menanyakan lagi.”
Dia mulai melihat ke samping Aida. Dia tertarik dengan gambar yang muncul di sana. Seperti halnya ruangan bar yang dia tempati, gambar itu memiliki detail seperti ruangan tersebut.
“Kalau boleh tahu... kenapa gambar di situ tampak seperti ruangan ini?”
“Ah!” Aida tersenyum. “Pertanyaan bagus tuan.”
“Tuan?”
“Karena aku berganti majikan, maka aku belum menentukan panggilan untuk tuan...”
“Kalau aku boleh tahu siapa majikanmu sebelumnya?”
“Tuan Ymir-tan....”
Sontak si laki-laki menutup kepalanya dengan tangan kanan merasa agak malu. Paman tua itu, pikirnya.
“Tuan ingin dipanggil siapa?”
“Gunakan namaku saja...”
“Kalau begitu Ryuuta, karakter kanji naga dan besar?”
“Ya....” Ryuuta menyadari sesuatu. “Teks yang kamu tampilkan berbahasa inggris berwarna biru, namun kenapa namaku berwarna merah?”
“Ini berhubungan dengan detail gambar. AIDA adalah sistem yang dibuat oleh tuan Shiro.”
“Tuan? Ayahku?”
“Ya, sehari yang lalu ayah tuan Ryuuta memberikan alat komunikasi ini pada Ymir-tan.”
Jadi tuan pertama Aida adalah ayahku...
“Lalu apa yang pamanku lakukan?”
“Ymir-tan sebagai desainer AI. Dia membuat desainku beserta desain gambar tuan Ryuuta.”
“Jadi karena itu gambarku ada di sini?”
“Yup.... menurut tuan Shiro sebagai pengembang awal program ini, sekarang AIDA sudah bisa membuat gambar secara otomatis menjadi animasi seperti yang ada di sini melalui gambar nyata, namun karena keterbatasan alat ini maka Ymir-tan mengumpulkan data sendiri.”
“Lalu apa itu AIDA?”
“AIDA dikembangkan dengan tujuan membuat lingkup kehidupan menjadi dekat sesuai nama dari project AIDA yang berarti ‘dekat’. MOE System adalah salah satu fitur di sistem ini. Motion Over Enviorenment System adalah sebuah fitur yang mengimplementasikan lingkukan nyata dalam dimensi 2d. Bahasa adalah salah satunya. Menggunakan bahasa inggris yang di Valhalla ini dikenal sebagai bahasa mayoritas. Perbedaan warna menunjukkan perbedaan bahasa. Biru untuk inggris, merah untuk jepang.”
“Aku mengerti.... hmm....” Ryuuta memainkan rambutnya sejenak. Kemudian dia memperhatikan Aida. “Kata-kata yang paling pertama kau katakan juga fitur?”
“Ya...!” Aida tersenyum.
“Apakah fitur itu bisa di non-aktifkan?”
“Tentu saja jika tuan Ryuuta mengingkan hal itu.”
“Kalau begitu lakukan...”
Ryuuta menutup matanya sejenak. Lalu memperhatikan keadaan di sekitarnya. Orang-orang mulai memenuhi bar itu. Mungkin sudah waktunya dirinya beranjak dari bar dan mencari informasi. Namun ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Hmm... Aida...”
“Ya, tuan?”
“Ayah pasti memiliki sesuatu untuk dia sampaikan padaku... karena itulah dia memberikan alat ini padaku, kan?”
“Tentu saja....” Aida tersenyum. “Tuan Ryuuta diperbolehkan untuk mengakses informasi yang ada di dalam database AIDA.”
“Kalau begitu mulai dari informasi dasar.” Ryuuta berpikir sejenak. “Tatanan Valhalla sendiri.”
“Baik...”
-Scan
Aida menutup matanya. Setelah beberapa detik dia membuka matanya. Matanya berubah warna menjadi putih terang. Beberapa saat garis garis berwarna biru muncul di matanya. Dia sedang melakukan pencarian informasi tentang Valhalla. Setelah dia menemukan informasi yang dia cari. Dia menutup matanya sesaat dan membukanya lagi. Matanya kembali normal. Warna hitam yang mungkin bisa menarik setiap hati laki-laki.
“Valhalla adalah salah satu pecahan dari dunia yang selamat dalam proses pemisahan dimensi. Istana langit Valhalla jatuh ke lautan. Di dunia ini juga ada pecahan dari Atlantis, kerajaan Atlanta. Dunia Valhalla berupa dua daratan yang di selimuti lautan yang terbatas. Di tengah lautan terdapat sebuah menara.”
Aida berhenti, lalu melanjutkan setelah mengedipkan matanya sekali.
“Untuk lebih tepatnya, dahulu dimensi ini, Valhalla, adalah bagian dari dunia. Dunia ini memiliki berbagai macam kebudayaan. Namun perang terjadi, sebuah perang besar antara para penghuni dunia itu dengan penguasa dunia tersebut. Dalam perang itu dunia tersebut hampir hancur. Untuk mencegah kehancuran itu, dunia tersebut dipisahkan menjadi banyak dimensi.”
Ryuuta menutup matanya. Kemudian memainkan rambut dengan tangan kanan.
“Apakah tidak ada informasi yang lebih detail?” Ryuuta menatap serius ke Aida. “Aku sudah mengetahui jika hanya itu.”
“Mungkin tuan bisa memasukkan kata kunci.”
“Kalau begitu, kenapa dunia itu hancur?” Ryuuta mulai terdengar serius. Alisnya terangkat. “Perang saja tidak bisa menjelaskan kenapa sebuah dunia hancur. Dan siapa yang menang dalam perang itu?”
Aida menutup matanya. Dia terlihat bingung.
“Saya tidak memiliki izin untuk memberikan informasi tersebut kepada tuan.”
“Huh...” Ryuuta menutup matanya sambil mengeluh. “Jika ingin tahu, cari tahu, kah?”
Dia mengingat sebuah kalimat yang sering ayahnya katakan pada dirinya. Untuk mengetahui sesuatu setiap insan harus mencari tahunya sendiri. Setiap informasi yang diketahui seseorang pasti terdapat banyak sumber yang bermacam-macam. Bisa dari sebuah tulisan, kata-kata, ataupun tindakan seseorang. Informasi yang Ryuuta cari bisa muncul dari berbagai sumber. Namun ayahnya tidak ingin dirinya untuk menemukan hal itu secaran instan.
“Hmm, baiklah kalau begitu.” Ryuuta kembali tenang. “Aku ingin mengkonfirmasi sesuatu.”
“Baik tuan Ryuuta,” jawab Aida.
“Apa konsep dasar dunia ini?”
Setiap dunia yang tercepah ke dalam dimensi yang berbeda memiliki konsepnya sendiri-sendiri dan unik. Tidak hanya konsep namun juga budaya yang ada di dalamnya.
“Konsep Valhalla ada perkataan menghasilkan kekuatan.”
“Apa saja yang termasuk ke dalam perkataan tersebut?”
“Perkataan, nama, dan pangkat seseorang.”
Ryuuta mengangguk. Sejauh ini dia sudah mengerti apa yang Aida maksud. Kurang lebih dia sendiri sudah tinggal di Valhalla selama enam belas tahun. Setiap ucapan mengandung kekuatatan. Kata-kata adalah kekuatan. Nama seseorang menentukan seberapa kuat mereka. Dan pangkat menentukan kekuatan yang memiliki ataupun sebaliknya kekuatan yang seseorang miliki bisa memberi mereka sebuah pangkat.
“Pangkat bisa dimiliki seseorang berdasarkan apa yang mereka lakukan. Hmm...” Ryuuta memainkan rambutnya seperti biasa. “Seperti Rym The Prodigy.....”
Ryuuta menutup matanya dan mengerutkan alis. Dia merasa tidak berhak mendapat gelar seperti itu. Rym The Prodigy, dia mendapat gelar tersebut di umur sepuluh tahun. Gelar tersebut didapat sebagai tanda dia seorang yang berbakat dan pintar dilambangkan Rym atau nama seekor naga.
Aida terlihat khawatir memperhatikan ekspresi Ryuuta. Namun apa daya dia tidak bisa melakukan apapun. Dia ingin memeluk Ryuuta dan menghilangkan kegelisahannya, namun dirinya hanya AI dia tidak bisa melakukan apapun dari balik layar itu.
“Hmm.... bicara tentang Rym, gelar yang aku miliki dilambangkan nama seekor naga.” Melihat Aida yang mulai khawatir Ryuuta mencoba mengubah pembicaraan. “Namun bukannya di Valhalla ini hanya ada wyvern? Coba berikan informasi tentang budaya Valhalla ini dan informasi detil lainnya.”
“Di Valhalla ada tiga ras manusia, elf dan wyvern. Budaya terdiri dari Norse dan Atlantis. Norse merujuk pada elf dan Valhalla yang jatuh dari langit ke lautan Atlantis. Namun Atlantis sendiri hanya meninggalkan serpihan kerajaan yang sudah bercampur dengan budaya lain.” Aida berhenti sejenak. Menarik napas seperti halnya seorang manusia, “Menurut Tuan Shiro, budaya dari Atlanta adalah China. Melihat dari perang tujuh kerajaan di masa lalu. Dia menyimpulkan Atlanta ada bagian dari China yang terpisah ke dalam dimensi lain. Dengan kata lain ini adalah Atlantis yang bercampur dengan budaya China.”
Dan,
“Ygdrassil, sebuah pulau besar lain yang menjadi tempat tinggal para elf. Sesuai informasi yang ada Ygdrassil memiliki budaya dari mitologi Norse berupa ras elf dan wyvern bercampur dengan budaya Jepang.”
“Hmm... jadi posisi Valhalla ada di dekat jepang itu sendiri?”
“Menurut Tuan Shiro seperti itu.”
“Lalu kenapa gelarku mendapat nama naga bukan wyvern?” Ryuuta memainkan rambutnya berusaha berpikir.
“Wyvern sendiri berbeda dengan naga. Mereka memiliki kecerdasan dan kekuatan yang sama seperti naga. Namun mereka tidak memiliki kehidupan yang kekal.”
Wyvern tidak memiliki kehidupan yang abadi. Naga memiliki hal itu. Dan lagi Wyvern memiliki fisik yang berbeda dengan naga. Wyvern memiliki dua kaki sedangkan naga memiliki empat kaki. Walaupun terkadang Wyvern lebih sering mengubah tubuh mereka menjadi manusia dengan kekuatan magis mereka. Wyvern lebih suka berbaur dengan manusia maupun ras lain.
“Dengan kata lain Wyvern itu sosial, Naga anti sosial?”
“Oh...” Aida memasang ekspresi seorang yang mengetahui sesuatu. “Kalau begitu cocok dengan anda tuan Ryuuta.”
“Tidak,” Ryuuta berhenti sejenak, dan melanjutkan, “Aku hanya bercanda.”
Ryuuta memperhatikan orang-orang yang asik mengobrol di meja sebelah. Dia kemudian melihat ke atas memperhatikan lilin yang menyala di atasnya.
Aku bukan seorang anti sosial..... Aku hanya suka menyendiri. Berhubungan dengan orang lain hanya akan menambah masalah untukku. Rym The Prodigy... Aku membenci nama itu.
***-11:06, Imperium Atlanta, Happy Bar
Siang mulai datang Sol mulai mendekat di atas langit Atlanta. Di Valhalla siang dan malam ditentukan jauh tidaknya Sol dari Atlanta ataupun Ygdrassil. Máni berada di tengah atas dunia itu menerangi malam hari di Valhalla. Menurut informasi dari Aida, Sol dan Máni adalah sebuah fenomena unik. Mereka ada di berbagai dunia yang berbeda, namun mereka satu.
Ryuuta kembali memperhatikan Aida. Setelah beberapa menit dia mulai terdiam. Bukan karena kagum akan perempuan di balik layar itu. Namun karena gertakan seseorang.
“Oi, bro ini tempat favoritku...!”
Ryuuta melihat kebelakang. Dia memperhatikan dengan seksama. Seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun. Janggut, kumis dan rambut hitamnya hampir menutup seluruh wajahnya. Mata kirinya buta oleh sebuah luka sayatan benda tajam. Dia mengenakan zirah hitam diselimuti jubah merah kecoklatan. Sebuah emblem imperium Atlanta berada di dada kirinya. Dia berkacak pinggang dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memegang sebuah topeng. Topeng dengan ukiran sayap dan daun runcing becabang dua di bagian kiri.
Ryuuta hanya diam, dia kemudian berdiri dan berjalan melewati orang tua itu sambil memasukkan alat komunikasi yang mungkin bisa menjadi perhatian orang-orang di sekitar. Dia kemudian keluar dari bar. Melihat kejadian itu orang-orang di sekitar mulai membicarakan tindakan Ryuuta itu.
“Anak itu ingin mati...”
“Ya, ya... dia tamat...”
Namun ajaibnya tidak ada hal apapun yang terjadi. Apa yang orang-orang antisipasi tidak terjadi. Ryuuta keluar dari bar itu. Keheningan sejenak memenuhi ruangan bar itu, sampai laki-laki yang mendapat tempat favoritnya itu berteriak.
“Master! Anggur!”
Gema itu membuat situasi mulai ramai dengan pembicaraan orang-orang di bar itu. Mereka mulai berbincang normal.
Mata dari si pria yang berteriak tadi menatap ke arah pintu saat Ryuuta keluar. Dan menutup pintu bar itu. Dia tersenyum seakan mengetahui hal itu yang akan terjadi.
***
-11:08, Imperium Atlanta, West Downtown
Sol mulai terik, awan-awan mulai menjauh dari langit Atlanta. Cuaca yang sejuk. Namun belum terlihat aktivitas di kota bagian bawah barat imperium itu. Hanya lalu lalang beberapa orang yang berlari menjauhi jalan utama.
Ryuuta baru saja keluar dari Happy bar. Dia melihat sedikit ke arah Sol memastikan waktu siang itu. Sol sudah berada hampir di atas kepala. Dia bisa memastikan pagi itu sekitar pukul sebelas. Dia kemudian memperhatikan jalanan dan rumah-rumah di sekitar.
Jalanan yang terbuat dari beton itu dipenuhi debu yang beterbangan. Tidak terlihat seperti sebuah imperium yang pernah menaklukkan tujuh kerajaan. Jalanan sepi, rumah-rumah yang ditutup rapat. Mungkin penghuni kota barat ini sejak awal tidak ada di sana. Itulah yang dipikirkan orang-orang yang mengunjungi kota ini. Sama halnya seperti Ryuuta.
Ryuuta berjalan ke barat, dia berusaha menjauhi kota itu untuk sementara waktu. Keberadaan kelompok yang diciptakan ayahnya tidak boleh diketahui orang-orang. Raven, emblem yang terukir di pundak Ryuuta adalah bukti dia seorang Raven. Kelompok pengembara yang tidak diketahui asal usul mereka. Mereka menyelesaikan masalah di sebuah tempat dan menghilang secepat mereka datang. Sebuah kelompok pahlawan. Namun mereka tidak mau tinggal di suatu tempat dengan waktu yang lama.
Jika kami tinggal.... mereka akan beketergantungan pada kami... dan...
Ryuuta menutup matanya.
Mereka akan memanfaatkan kami...
Setelah berpikir sejenak, Ryuuta berjalan menyusuri jalanan barat kota itu. Dia menikmati udara sejuk siang itu. Jendela-jendela rumah yang tertutup mungkin mengganggu pemandangan seorang pengembara yang ingin melihat kota yang terkenal ini. Namun Ryuuta tidak peduli.
Tempat ini bukanlah tempat untukku...
Raven adalah penyendiri itulah yang dipercayai Ryuuta. Sampai saat itu dia percaya. Mungkin saat itu juga dia mempertanyakan. Apakah ada tempat untuk seorang Raven?
Angin berhembus kencang. Bukan sebuah angin yang kasar. Hempasan angin yang lembut dan beraroma, aroma yang menenangkan hati. Seseorang baru saja melewati Ryuuta. Napasnya terdengar tenang untuk seseorang yang terlihat panik. Penutup kepala biru yang dia gunakan terdapat gambaran tulisan dari sesuatu yang Ryuuta kenal. Siapakah orang yang ada di depan Ryuuta itu? Ryuuta mungkin tidak pernah mempertanyakannya.
Namun suara langkah kaki yang menggetarkan tanah membuat Ryuuta tidak sadar bahwa pertemuan keduanya adalah jawaban dari pertanyaannya sendiri. Apakah ada tempat untuk seorang Rav- tidak... Apakah ada tempat untuk seorang Ryuuta pulang? Semua itu berawal dari perkataan seorang yang berada di depannya.
Apakah anda percaya tentang takdir?Note: gw males edit.... *plak*