Matahari baru saja naik ke ufuk timur. Kedua pengawal Pangeran Simatungga baru saja selesai menyiapkan bekal untuk perjalanan pulang kembali ke Pakuan. Wisesa dan Sapana nama keduanya. Bersama-sama dengan pangeran mereka memacu kuda masing-masing meninggalkan pesanggrahan. Mereka tidak mengenakan pakaian kebesaran. Hanya menyamar sebagai penduduk biasa yang sedang bepergian.
Mereka memacu kuda dengan cepat sampai memasuki wilayah perbatasan Pakuan. Hingga mereka sampai di sebuah tempat yang serasa asing. Melewati ruang terbuka di tengah-tenngah hutan.
"Apakah setahun yang lalu kita melewati tempat ini paman? tanya Pangeran Simatungga kepada Wisesa.
"Tidak Pangeran, setahun yang lalu kita melewati jalur selatan hutan ini. Saat ini kita sengaja mengambil jalan pintas agar cepat sampai di kota Raja" Jawab Wisesa.
"Dan kalau hamba tidak salah ingat, setelah melewati hutan ini kita akan sampai ke sebuah perkampungan". lanjutnya.
"Hai paman, engkau lupa. Jangan sebut aku Pangeran. Kita sedang dalam perjalanan dan menyamar. Panggil saja aku Sima. kata Pangeran Simatungga
"Duh maaf , eh kok saja malah jadi nggak enak gini.. Sima".
Dan benar, setelah melewati daerah terbuka tersebut mereka sampai ke sebuah desa.
Ketika sampai di ujung desa bertanyalah Simatungga
"Apa nama desa ini Paman?"
"Maaf Pangeran , hamba sudah lama tidak mengunjungi desa ini. Kalau tidak salah desa ini bernama desa Perdu".
"Oi Paman". Sima menyorot dengan tatapan mata setengah menutup.
"Eh iya maaf.. Sima".
Saat memasuki desa mereka berpapasan dengan beberapa penduduk. Anehnya para penduduk ini menunjukkan sikap sinis, kurang bersahabat. Tak jauh dari situ , ada sebuah gardu ronda. tempat itu penuh dengan teriakan. Mendekatlah mereka kesana dan melihat disana ada sekelompok anak muda yang sedang bermabuk-mabukan dengan minuman tuak sambil bermain dadu.
"Hai kalian berhentilah sejenak. Temani kami minum tuak. Bukankah semakin ramai semakin meriah. Semakin melayang dan melayang. Kata seorang pemuda dengan kondisi teler dan sempoyongan. Teman-temannya yang lain yang mendengar mengiyakan juga ikut mengajak. Mereka mengulang perkataan barusan dengan nada belepotan.
Sima memberi syarat kepada kedua pengawalnya agar tidak meladeni ulah para pemuda tersebut. Merasa tidak ditanggapi, para pemuda tersebut mencaci maki dengan ucapan-ucapan kotor.
Mereka tetap meneruskan perjalanan. Walaupun dalam hati Wisesa dan Sapana panas akan kelakuan anak-anak muda yang sedang mabuk tersebut.
"Paman kita mampir sebentar, aku mau melihat keadaan desa". Ucap Simatungga kepada kedua pengawalnya.
"Bukankah sepulang ke Istana aku juga harus bersiap untuk mengembara, melakukan perjalanan menuju kedewasaan? jadi anggap saja aku melakukannya sedikit lebih awal. Dan dengan adanya paman berdua disini. Aku mendapat keringananan pada tahap awal bukan?.
Ucap Simatungga sebelum Sapana dan Wisesa sempat mengajukan keberatan.
Di alun-alun desa yang nampaknya menjadi pusat keramaian mereka turun dari kuda. Sapana bertugas menjaga kuda yang ditambatkan di bawah pohon Mangga di daerah alun-alun. Desa yang sangat luas dan lapang.
Simatungga dan Wisesa mendatangi sebuah pondok yang ramai dengan sorak sorai. Kerumunan disana memang mengundang tanda tanya, membuatnya penasaran. Di tempat tersebut sesekali terdengar teriakan gembira dan umpatan kekecewaan. Nampaknya mereka sedang bermain dadu, sama seperti yang dilakukan oleh para pemuda ronda. Namun sepertinya permainan ini terlihat jauh lebih besar.
"Ayo main! Pasang! Pasang!" teriak si bandar dadu.
'Seperti inikah kelakuan sebagian rakyatku?' kata Sima dalam hati.
Sima berkeliling ke tempat-tempat lainnya. Semua orang yang berkerumun ternyata kalau tidak main dadu pasti menyabung ayam dengan taruhan. Hal itu terjadi sampai di sudut-sudut desa. Warung-warung pun menjual tuak dengan bebas. Nampak beberapa pelanggannya yang membuat masalah karena mabuk sedang diatasi oleh orang yang berbadan besar.
Tentunya kalau tidak melihatnya sendiri pasti ia tidak akan percaya. Terbesit kekecewa dalam dadanya melihat kenyataan seperti ini. Di tengah digalakkannya penyuluhan-penyuluhan dan pencerahan agama. Ternyata masih ada sebuah desa maksiat. Bukankah judi dan minuman keras dilarang oleh semua agama?.
Sima dan Wisesa akhirnya ikut bergabung di arena perjudian yang paling ramai pengunjungnya. Mereka menyaksikan tingkah laku si bandar dan anak buahnya dengan seksama. Tak lama kemudian ketahuan kalau ternyata bandar berbuat curang. Dadu sengaja diatur sedemikian rupa sehingga taruhan dengan uang paling kecil sering keluar. Sedangkan taruhan dengan nilai yang besar selalu kalah.
Simapun nimbrung ikut taruhan. Mula-mula ia hanya mengeluarkan sedikit uang. Bandar dan anak buahnya sepertinya sengaja memenangkannya. Kini uangnya jadi berlipat-lipat.
Simatungga pun akhirnya membuka buntalan yang di bawanya. Ia mengambil lebih banyak uang dan digabung dengan uang hasil kemenangan barusan. Semua dipertaruhkan. Tentu saja hal ini membuatnya menjadi sorotan banyak orang. Ia menjadi pusat perhatian akan keberanian atau kenekatannya bertaruh.
Dengan wajah berbinar si bandar mengedip-ngedipkan mata ke arah anak buahnya. Orang polos yang melihatnya mungkin akan mengira si bandar genit atau kelilipan. Namun bagi orang-orang yang berfikir nampak kalau ia sedang memberikan kode.
Inilah tujuan yang sedang ia tunggu , pancingannya memberikan hasil. Sima mengeluarkan semua uangnya.
"Ayo ayo, siapa lagi yang mau pasang!" teriak nyaring si bandar sambil mengaduk-aduk dadu dalam dandang tembaga. Kini dandang sudah diletakkan di atas tikar.
"Siapa lagi!? Masih ada waktu untuk pasang taruhan!" teriaknya lagi.
Sima bertaruh pada posisi enam biji. Dengan trik lihai si bandar mengubah posisi dadu ke nomer satu. Sima membiarkan kelakuan si bandar.
"Ayoo buka! Cepat buka dandangnyaa!!!" teriak orang-orang yang bertaruh.
Dalam waktu satu detik sesaat sebelum dandang terbuka, Sima menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengubah posisi dadu ke nomer enam.
Maka saat dandang terbuka, terbelalaklah mata si bandar. Selama hidupnya baru kali ini ia gagal menggunakan trik yang ia asah dan ia gunakan sejak dulu.
Ada yang berteriak kecewa dan ada pula yang bergetar dengan nada gembira melihat hasil bukaan dadu. Sang bandar kalah. Simatungga tersenyum nyengir ke arah bandar. Ia mengumpulkan semua uang kemenangannya. Bandar yang bertubuh gendut pendek itu menjadi penasaran. Kemenangan Sima ini kebetulan atau ia memang salah langkah saat menggunakan trik. Padahal sudah direncanakannya pada bukaan ini semua uang Sima akan disikiatnya habis.
"Masih buka?" tanya Sima kepada bandar yang melamun.
Sang bandar masih terpana dan bengong. Tepukan anak buahnyalah yang membuat ia tersadar.
Eh, iya masih, masih buka. Ayo siapa lagi yang mau bertaruh!?" kata Bandar gelagapan.
Orang-orang yang bertaruh mulai memperhatikan ke arah berapa Sima memasangkan uangnya. Merekapun ikut-ikutan memasang di nomer yang sama. Hingga nomer yang dipasang Sima penuh dengan tumpukan uang.
"Kalian hanya bertaruh di satu nomer ini saja? Yakin?" tanya bandar keheranan.
"Yakin!" jawab semua orang.
"Ayo buruan kocok dadunya dan buka!"
Dengan wajah berseri sang bandar mengocok dadu dan kembali menggunakan trik kecurangan yang sama. Simapun kembali menggunakan tenaga dalamnya untuk menggeser kembali arah dadu.
"Ayo cepat bukaa!" teriak para petaruh yang tidak sabar.
Namun apa yang terjadi ketika dandang dibuka. Semua petaruh berteriak kegirangan. Karena sepertinya baru kali ini mereka bisa menang.
"Menang!!!"
Si bandar tak bisa lagi menahan amarahnya. Ia memberi isyarat dengan satu tangannya(nggak pakai kedap kedipan mata) kepada orang-orang berbadan besar dan kekar dibelakangnya agar bergerak. Dua orang tukang pukul berwajah maju. Keduanya serentak menendang ke arah para peraih kemenangan menyebabkan beberapa petaruh yang sedang jongkok mengumpulkan uangnya terjungkal keluar arena dadu. Mereka mengaduh kesakitan. Namun ketika salah seorang diantaranya hendak mengghentakkan kakinya ke arah kepala Sima. Tiba-tiba saja tubuh orang tersebut terlempar jauh kebelakang ke arah sang bandar.
Nasib yang sama juga dialami seorang sisanya yang hendak melontarkan kepalan tangannya ke arah kepala Sima. Ia terpental jauh kebelakang bahkan menjebol tembok pondok yang terbuat dari kayu.
Wisesa yang melakukannya. Ia takkan membiarkan seorangpun yang berani hendak melukai junjungannya.
Simatunga yang mengetahui hal itu berdiri santai. Sang bandar berteriak ke arah kerumunan permainan dadu lainnya dan ke kerumunan sabung ayam tak jauh dari tempat itu. Kira-kira sekitar 20an tukang pukul bergerak dari tempat jaga mereka masing-masing. Mereka berlarian ke arah bandar.
"Jadi begini caramu jika kalah bermain? kau mau merampok uang kami? kata Sima.
Dalam sekejap 20 tukang puluk yang dipanggil bandar telah mengepung mereka berdua. Para pemain di dalam pondok ketakutan, mereka berhamburan keluar dari tempat itu.
Wisesa merapatkan tubuhnya ke arah Sima sembari berbisik, "Keadilan dan kebenaran harus ditegakkan dengan kekuatan" ia mengutip kalimat mahaguru yang ia dengar saat penataran.
"Kalian benar-benar cari mati disini!" ucap salah seorang tukang pukul.
Wisesa meladeni gertakan itu dengan senyum sinis. Sebagai Perwira tinggi Puragabaya(Pasukan elit Pakuan) yang sudah kenyang asam garam dunia pertempuran.
Berkatalah ia "Jangankan hanya dua puluh orang seperti kalian. Ditambah menjadi seratuspun kami tidak gentar.
"Tunggu apa lagi ?! Ayo serang!" ucap salah seorang diantaranya.
Battle
"Ampuun" para tukang pukul menyerah.
Sang bandar menjadi pucat pasi.
"Bagaimana? masih mau melanjutkan perlawanan?
"Tidak tuan"
"Sudah berapa lama perjuadian di desa ini berlangsung?
"... belum lama tuan... baru dua tahun ini" gemetaran sang bandar menjawab
Sima berbisik kepada Wisesa untuk mengumpulkan seluruh penduduk desa.
"Aku sudah melihat keadan desa ini" ucap Sima membuka pembicaraan dengan suara lembut namun terdengar jelas.
"Banyak sawah dan ladang terbelengkalai tidak digarap dengan baik karena para pemuda desa ini malas. Kalian para pemuda lebih suka main judi dan mabuk-mabukan tidak jelas. Padahal perbuatan itu jelas-jelas merugikan kalian sendiri. Lihat! sudah berapa lama kalian ditipu oleh bandar judi ini?!"
"Ia berbuat curang , mengakali kalian dengan permainan dadunya. Hingga banyak diantara kalian yang jatuh miskin. Apa kalian ingin lebih miskin dan menderita lagi!?"
"Tidak mauu" jawab para penduduk desa serempak.
"Siapa yang menjadi lurah di desa ini? Sima mengedarkan pandangannya.
Tidak ada yang menjawab. Sima mengulangi kembali pertanyaannya. Hingga akhirnya ada seorang pemuda dengan tubuh kurus maju mendekat.
"Lurah kami adalah orang yang baik. Dia berusaha melarang permainan dadu dan sabung ayam di desa ini. Tapi dia dibunuh oleh para tukang pukul bandar kurang ajar itu!". kata si pemuda sambil menunjuk ke arah bandar.
"Oh jadi sudah sejauh itukah perbuatan jahat kalian?"
Sima mendekati sang bandar dan menendangnya hingga ia terlempar terjungkal dan terguling.
"Siapa namamu pemuda? tanya Wisesa.
"Nama saya Walit. Lurah yang mereka bunuh adalah bapak saya". jawab pemuda tersebut.
Sima memberi isyarat agar Wisesa angkat bicara.
"Saudara-saudara sekalian. Kalian harus menghentikanmain dadu sabung ayam. Tidak boleh minum tuak sampai mabuk. Karena perbuatan itu merugikan kalian sendiri. Mau?
"Mau!" jawab penduduk desa serentak.
Wisesa menyeret sang bandar ke rumahnya. Semua harta didalamnya dikeluarkan, dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk miskin desa. Begitu juga dengan uang hasil kemenangan Sima, semua diberikan kepada penduduk yang membutuhkan.
Sang bandar dan anak buahnya diusir dari desa.
"Terima kasih tuan, seumur hidup kami tidak akan melupakan jasa besar tuan. Kata Walit mewakili para penduduk desa. Bolehkah kami mengetahui nama para penolong kami?
Sima mengenalkan dirinya "Namaku Simatungga dan ini pamanku Wisesa" sambil memgang pundak Wisesa.
"Kau punya jiwa pemberani dan tegas. Kamu cocok menggantikan ayahmu sebagai lurah di desa ini".
Wisesa berkata dengan suara keras. "Saudara-saudara sekalian bagaimana jika Walit menjadi lurah kalian?"
"Setujuuu!" ucap para penduduk serempak.
"Mulai sekarang kamulah yang akan memimpin desa ini. Majukan desa ini. Soal kedudukanmu ini aku yang akan menyampaikannya langsung kepada Sri baginda".
"Terima kasih tuan.. ucap Walit terbata-bata.
"Apakah bandar judi dan 20 orang anak buahnya itu warga desa ini? tanya Sima?
"Bukan. Mereka pendatang dari desa lain. Kami tak mengenal jelas asal usul mereka. jawab Walit.
"Baiklah, mereka harus kembali ke tempat mereka semula. Jangan kuatirkan mereka lagi. Kami berdua telah mencopoti urat dan otot mereka hingga mereka tidak akan bisa menggunakan ilmu silatnya. Mereka hanyalah orang biasa sekarang.
"Tuan-tuan, hari sudah
mampilah tuan-tuan untuk kami jamu malam ini. Bermalam di desa kami.
Simatungga dan Wisesa saling pandang kemudian menganggukkan kepala tanda setuju atas tawaran tuan rumah.
NB: Ternyata nulis banyak itu pegel dan lamaa. Langsung jadiin game ajalah