Act 1.2 - 'And so, let us hurl together through this path.'
Mathyea berjalan menyusuri lorong gelap di sekitar bangunan persembuyian ini, mencoba mencari jalan keluar untuk menyegarkan pikirannya dengan udara pagi yang sejuk, paling tidak cukup jauh dari tempat yang telah membuatnya gerah seperti ini.
Sehari sebelumnya adalah hari paling lama yang dia rasakan. Dengan terpilihnya dia sebagai anggota pertama Q.G.V, maka dia harus menyiapkan langkah-langkah untuk memulai tugasnya. Setelah rapat darurat tersebut selesai, dia dan sang paladin tinggal untuk diberikan sepasang segel.
Dengan segel ini diimplan ke dalam sirkuit magis mereka, maka mereka yang telah bersumpah untuk mengabdi kepada Ibu Agung harus patuh terhadap mereka berdua apapun kondisinya. Inilah kekuatan yang dihadiakan kepada mereka berdua sebagai dua anggota awal.
Walau sebagai gantinya, Mathyea merasakan rasa sakit di kepalanya yang sangat menusuk. Malam itu juga dia tidak bisa terlelap dengan nyenyak s'bab sebuah mimpi yang dia tidak ingin lihat untuk selamanya kembali datang.
.
Panas.
Tangan-tangan api menyambar dimana-mana, memporak-porandakan seisi rumahnya.
Hangat.
Sebuah tangan yang lembut, tercemar oleh warna ahmar menggenggam tangan mungil-nya untuk terakhir kalinya.
Silau.
Matahari terbenam seakan membuat pemandangan di depannya terlihat seperti serpihan dari neraka.
Sakit. Sakit. Sakit. SakitSakitSakit--
JANGAN. TIDAK LAGI. KUMOHON.
.
Mentari belum terbit ketika dia beranjak bangun dan mengenakan jubah hijau lusuh-nya, dia menyerah untuk tidur dan memutuskan berjalan yang membawanya ke keadaan sekarang.
Mathyea merasa mual. Langkah kakinya menjadi tidak teratur.
Seorang pria muda lain juga berjalan di arah berlawanan dengannya. Pria dengan syal hitam; paladin yang kemarin bersamanya.
"Ah, anda juga tidak bisa tidur ya?"
Paladin itu tersenyum ramah ketika bertatap muka dengan Mathyea. Sebuah senyum tulus tanpa adanya niatan jahat dibaliknya, ditambah dengan ketampanan wajahnya, tentunya sudah ada banyak wanita yang akan jatuh hati kepada senyum itu.
"..."
Walau begitu, Mathyea hanya mengerutkan keningnya. Malam yang tidak tenang dan rasa tidak nyaman melihat pria di depannya membuatnya berang.
"Kita tidak sempat berkenalan kemarin. Jadi... aku harap kita dapat bekerja sama dengan ba--"
Reinholdt mengulurkan tangan kanannya, namun Mathyea, yang sudah terlanjur kesal memutuskan untuk mendengus dan melangkah melewati Reinholdt dengan tangannya masih terulur di udara.
"Ah."
Reinholdt melirik ke belakangnya, pria berambut hitam panjang tersebut masih terus melangkah. Punggungnya seakan terus menolak Reinholdt yang hanya bisa tersenyum canggung.
Ketika bersiap berjalan kembali ke arah kamarnya, dia mendapati seorang wanita telah bersandar di dinding di depannya entah sejak kapan, menatapnya dengan pandangan meneliti.
...
Reinholdt adalah seseorang yang sebenarnya tidak ambil pusing dalam cara menyantap makanannya, lagipula dalam menjalankan sesuatu apa yang penting adalah hasil yang dicapai, bukan apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan proses tersebut. Begitulah pikirnya dulu.
Saint Maiden sendiri menegurnya setelah membunyikan garpu-nya beberapa kali di saat sarapan pagi hanya antara mereka berdua pada suatu hari yang sudah lama berlalu.
Reinholdt tersenyum kecil mengingat hari-hari itu. Sesaat dia melupakan fakta kalau wanita yang telah memberinya sarapan sedang menatapnya sedari tadi seakan baru melihat mahluk langka.
Dia dibawa ke sebuah ruangan kecil di salah satu lorong persembunyian ini. Ruangan kecil yang sama seperti interior seluruh persembunyian; dibuat sederhana dan memberi kesan dingin dengan batuan bewarna hijau gelap disusun rapi dengan lilin yang dikurung di dalam sebuah kaca anti-pecah.
"Terima kasih atas makanannya, nona."
Ucapnya setelah meneguk gelas airnya.
"...Tidak perlu sungkan. Anggap saja ingin sebagai balasan lebih awal karena ingin menanyakan sesuatu padamu."
Wanita tersebut berbicara sambil tersenyum penuh makna ke Reinholdt.
"Apa pun itu, aku akan menjawabnya sesuai dengan kemampuanku."
"Hmhm~ Nah, begini..." sebuah jeda.
"Bagaimana menurutmu tentang
partner-mu yang baru?"
Reinholdt sedikit terkejut. Dia berpikir dia akan ditanyakan hal macam-macam -hal yang dia tidak ingin bahas seawal ini- seperti alasan kenapa seorang paladin sepertinya bergabung di orde dengan sejarah kelam seperti ini atau kenapa dia bahkan ingin mencalonkan diri sebagai seorang anggota Q.G.V.
"Kau tak perlu ragu. Katakan apa saja yang ada di pikiranmu." sebuah senyum yang mengembung, "Asal tahu saja, aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh."
Menimbang beberapa saat dalam batinnya, Reinholdt akhirnya menjawab.
"Dia bersikap terlalu dingin aku rasa."
"Oh?"
"Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya namun kurasa ada hubungannya dengan profesiku; asumsi pertama yang kumiliki adalah dia pernah terlibat dalam masalah dengan paladin sebagai salah satu anggota orde ini... apa pun itu, ketidakselerasan ini paling tidak bisa tertutupi untuk sementara waktu."
"Jadi kau rasa dia bersikap dingin akibat pekerjaan-mu sebelumnya, iya bukan?"
"Bisa dibilang seperti itu."
Sebuah jawaban yang wanita itu sudah perkirakan, namun dia sedikit terkejut atas ketelitian yang sang paladin jelaskan.
"Kalau begitu kau salah."
"...Eh?"
Seorang paladin -pemimpin mereka dalam kasus Reinholdt- telah bergabung di orde kelam dan paling sakral yang ada di negeri ini. Untuk mempercayai orang seperti itu dalam jangka sehari memanglah mustahil. Reinholdt sendiri sudah memprediksi ini ketika mengetahui dia akan diikutkan dengan seorang anggota lama. Namun kata-kata wanita yang namanya dia belum tahu ini membuatnya ragu sekarang.
"Kalau aku mau bilang, dia sebenarnya tidak mempedulikan itu. Aku sudah mengenalnya sejak lama... Mathyea Andou itu adalah orang yang telah berjuang sampai ke status-nya sekarang melalui usaha dan kegigihannya sendiri."
Sang wanita tersenyum kecil sembari menjelaskan Mathyea Andou seakan-akan seperti anak-nya sendiri, seakan-akan menceritakan tentang buah daging-nya yang telah lama pergi mengarungi dunia, selayaknya pria muda yang lainnya.
"Bertugas dengan rekan kerja adalah hal yang jarang baginya. Dia itu memang orang yang seperti itu, Namun aku ingat apa yang pernah dia katakan padaku..."
.
Tersebutlah mereka yang telah melihat ajal
baik milik diri sendiri ataupula orang lain
sebagai perasaan fana dan tak lebih
selamanya mereka tak akan menggapai mimpi mereka
tak ada cinta, tak ada romansa, tak ada apik,
yang akan menghantar ke cita-cita di atas sana
dibumbung oleh warna lazuardi indah.
.
...
Pemuda berambut hitam itu duduk di salah satu bebatuan yang awalnya menjadi tiang penyangga balkon tempat dia berada sekarang, merasakan terpaan angin yang berasal dari horizon barat. Kastil Erenburg tampak di kejauhan, tak lebih seperti sebuah butiran pasir di batas langit biru.
Persembunyian ini terdapat di sebuah pegunungan di bagian utara Pulau Hedlix yang bagian dalamnya yang telah dikosongkan. Daerah utara tergolong sebagai sebuah daerah pinggiran terletak jauh dari ibukota Erenburg Dukedom membuatnya sempurna sebagai tempat persembunyian dan juga penyelundupan barang-barang ilegal ke dalam Ledesta.
Tak perlu dibilang lagi, pembangunan disini masih terbelakang... sejauh mata memandang, hanya padang hijau luas yang dapat Mathyea lihat, berbeda jauh dengan daerah lainnya.
"...rgh."
Dari yang dia ketahui, Mathyea yakin ini hanyalah efek sementara yang terjadi karena pemindahan segel yang telah dilakukan kemarin... walau begitu dia tidak bisa menjelaskan kenapa dia mendapat kilasan ingatan lama seperti itu diantara nyeri dalam kepalanya.
Rasa sakitnya semakin parah. Pandangan Mathyea semakin lama semakin berkunang-kunang dan dentuman di dalam kepalanya belum juga berhenti.
Seluruh pandangannya berubah menjadi putih, padang yang bagaikan karpet hijau di hadapannya perlahan memudar dan sinar matahari tiba-tiba memadam.
.
Bocah berambut hitam itu duduk itu duduk dengan malas di tepi danau yang membentang luas didepannya. Sesekali dia melempar kerikil yang dia temukan ke permukaan air danau, membuat percikan beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Disampingnya adalah seorang pelayan wanita yang menepuk tangannya dengan lembut sembari tersenyum..
Sebuah ingatan, begitu lama telah berlalu namun masih bisa teringat jelas. Sebuah rumah yang telah terbakar hingga tak tersisa, mayat-mayat pelayan lainnya tergeletak tak bernyawa, sebuah pisau tertancap...
"...Aku masih tidak bisa melupakannya, ya?"
Ketika sakit di kepalanya mulai reda, pandangannya mulai kembali walau sedikit tidak terfokus. Mathyea menyadari dia sudah berjalan ke ujung balkon, kaki kanannya bahkan sudah melewati pembatas balkon yang ada dan setengah terangkat di udara.
Mata-nya terasa kabur seperti kelilipan.
"Sedikit lagi..."
...
Ruang rapat petinggi Crimson Tree.
Seluruh kursi dan meja yang tertata rapi kemarin sudah lenyap begitu pula mayat penjaga terakhir yang mungkin sudah dibuang ke laut terdekat. Suasana di ruangan itu kembali mati hingga saatnya terpakai lagi pada waktunya.
Selesai sarapan, wanita tadi memutuskan untuk ikut bersiap pergi mengikuti petinggi lainnya dan meminta Reinholdt menemaninya.
Kenapa dia kesini Reinholdt sendiri tidak mengerti...
Dia dan Reinholdt hanya terus menatap bagian tiang ruangan tersebut yang berbentuk menyerupai pohon kelabu dalam diam.
"Aku yakin kau bisa mendapatkan kepercayaannya. Malah jika aku mau bilang kau itu adalah orang yang cocok dengannya."
Begitulah katanya secara tiba-tiba, dia berdiri sedikit jauh dari Reinholdt sehingga ekspresi wajahnya tidak dapat terlihat dengan baik.
"Aku tidak tahu." ucap Reinholdt seraya menatap lantai beton di bawahnya, "...Kenapa anda bisa begitu yakin kepadaku?"
Wanita itu berbalik ke arah Reinholdt.
"Karena, aku yakin kau mempunyai niat yang tangguh untuk bergabung ke dalam unit ini. Tidak usah berpikir jauh, itu saja sudah cukup. Sudah cukup untukmu, dan juga untuk
nya."
"..."
"Nona Kamizumi. Sudah hampir waktunya."
Seorang pemuda berambut pirang emas datang dari arah masuk dan berhenti beberapa meter di belakang Reinholdt dan wanita itu, menyampaikan pesannya dengan singkat dan nada datar.
"Ah, Hicox. Maaf aku sedikit terlambat."
Menyadari kedatangan ajudannya, wanita yang telah dipanggil 'Kamizumi' itu berkata dengan ringan seraya berjalan melewati Reinholdt, sepatu hak tingginya adalah satu-satunya bunyi di ruangan yang kini sunyi itu.
"Baiklah, cukup sampai disini dulu. Aku berdoa demi kesuksesanmu dan juga Mathyea, sungguh.."
Tanpa menunggu balasan Reinholdt, wanita itu terus berjalan, mantel panjang yang dia kenakan mengikuti iringan langkah kakinya. Ajudan muda-nya yang bernama Hicox menunduk ketika dia berjalan melaluinya sebelum Hicox sendiri mengikutinya dari belakang. Sebelum beranjak keluar, sang ajudan muda tersebut melemparkan tatapan dingin ke arah belakang Reinholdt.
Kini hanya dia yang ada di ruangan ini, masih memikirkan perkataan wanita itu sambil mendongak ke atas; altar para tetua kini telah kosong. Bayangan mereka beserta lentera merah dibaliknya kini telah tiada.
Dia berterima kasih di dalam hati kepada sang wanita yang telah lama berjalan menjauh. Reinholdt punya firasat kalau dia akan bertemu dengannya lagi dalam waktu yang tidak lama, ketika itu memang terjadi, dia berharap dia dapat berterima kasih dengan sungguh-sungguh padanya.
"Sebuah niat, ya?"
Hatinya galau. Alasan yang dia cari selalu ada di dalam dirinya, namun untuk menggunakan alasan itu sebagai pendorong untuk membunuh orang adalah hal yang tak akan pernah dia lakukan.
Untuk menggunakan dalam hal seperti itu sebagai pendorong di dalam hatinya berarti sama saja menghina kenangan yang dia miliki.
"Tapi... aku harus melakukan ini."
Dia menarik pedang di pinggang-nya dan menghadapkannya ke depan dadanya. Pedang Altruies bersinar walau diantara ruangan yang gelap. Baja-nya telah menebas puluhan atau bahkan ratusan mereka yang telah menentang ajaran Paradan. Sebuah pedang dengan baja yang langka dan dengan pemberkatan dari sang Saint Maiden sendiri.
Reinholdt tidak pernah ragu untuk menumpahkan darah kotor mereka yang telah melakukan praktik vulgar, yang telah mengorbankan nyawa orang-orang yang tak berdosa hanya untuk alasan pengetahuan arkana sendiri. Apa yang dia lakukan mungkin salah, tapi jika paling tidak ada yang mengukuhkan kebenaran atas tindakannya... jika paling tidak ada seseorang, maka dia akan selalu yakin.
Dan dengan begitu, dia kembali menyarungkan pedang yang telah diberikannya dengan penuh kepercayaan.
Diantara gelapnya ruangan, diantara kibaran yang akan memecahbelah keyakinan lelaki lemah, dia sendiri berdiri kokoh, bagaikan benteng perkasa, tak lagi ragu. Nyalinya yang begitu tajam tak akan kehilangan pancarannya. Dia akan terus maju ke depan, menghadapi jalan berdarah yang akan dia lalui.
Begitu perkasa nyalinya, begitu terang pancaran baja di pedangnya hingga mengalahkan kegelapan sendiri.
Tak ada yang perlu lagi ditakutkan, Reinholdt Fitzgerald berjalan keluar setelah menatap altar keempat tetua untuk terakhir kalinya. Langkahnya terasa begitu ringan dan enteng.
...
Malam itu langit begitu cerah. Letak daerah yang jauh dari pusat penduduk membantu untuk membuat bintang bersinar begitu terang saat ini.
Kuda telah disiapkan di sebuah istal yang tersembunyi di kaki gunung, jika seseorang tidak betul-betul mencarinya maka mereka mungkin tidak akan pernah menemukannya tersembunyi diantara tumbuhan liar yang ada dengan sedemikian rupa.
Mathyea telah selesai mempersiapkan semua peralatan yang dibutuhkan untuk esok paginya. Dia berjalan untuk bersiap kembali ke kamarnya sebelum menyadari ada seekor kuda lain di kandang itu.
Reinholdt Fitzgerald. Apa dia telah salah untuk berharap sesuatu yang lebih pada orang itu? Untuk mempercayai seseorang, untuk berharap akan sebuah hal yang membuat mereka sama. Sebuah tujuan yang mendorong mereka.
Tak ingin menganggu hewan-hewan tersebut untuk beristirahat, dia lalu berjalan keluar dari istal dan menyadari ada seseorang yang berjalan mendekat ke arahnya.
Dia mempersiapkan mantra yang akan diluncurkan dari tangan sebelum menyadari kalau orang tersebut adalah Reinholdt Fitzgerald, syal hitam yang dia kenakan berkibar oleh angin malam. Pria tersebut tampak serius, sorot matanya adalah pandangan yang dia gunakan ketika menusuk jantung magus-magus yang telah melakukan ritual sesat; sorot mata sang pemimpin paladin.
Mathyea memahami arti dari tatapan itu. Reinholdt terus berjalan, tidak cepat dan tidak lambat hingga jarak antara dia dan Mathyea hanya sekitar tiga kaki.
"Mathyea Andou."
Pikirannya telah jadi. Keraguannya tersapu bersih. Dengan ambisi baja membara di hati, dia bertanya;
"Apa yang kau harapkan dari misi ini? Apa yang akan kau harapkan dari mereka yang akan kau pimpin kelak?"
Keberhasilan Q.G.V kedepannya adalah hal yang belum ditentukan. Baik oleh tangan manusia atau pun roda takdir sendiri. Untuk itulah Reinholdt berharap...
"Katakan kepadaku -- apakah yang kau cari dalam hidup ini, mimpi apa yang telah kau kejar, tujuan apa yang kau agungkan, dan juga apa ideal apa yang telah membutakan pandanganmu seraya kau mengayunkan bajamu?"
"...Aku ingin percaya."
"Atas sebuah kebenaran?"
"Aye. Untuk sebuah tujuan, pendorong untuk terus melangkah ke depan di jalan nista ini."
'Kepercayaan' adalah apa yang disebutkan Mathyea - sebuah notasi yang dimiliki tiap insang, namun telah menjadi kelabu jauh dari asalnya.
Untuk mempercayai hal seperti itu adalah prinsip yang telah Mathyea tahu sejak dulu. Walau prinsip yang telah diturunkan kepadanya telah lama ikut memudar dengan waktu, namun kemurniannya masih ada. Senyuman di hari-hari yang hangat itu masih dapat Mathyea ingat hingga kini.
"Jikalau begitu, maka percayalah kepadaku!"
"Untuk seseorang dengan prinsip yang sangat berbeda? Begitu kontras dari diriku?"
"..."
Apa yang sang paladin, mereka yang telah menebas para penyembah segala yang nista di dunia harapkan dari sebuah pertumpahan darah murni yang diciptakan oleh sosok bayangan? Dari segi mana pun dilihat, akhir dari kegilaan ini adalah akhir yang menyedihkan. Mengapa pula seseorang akan memilih akhir yang begitu jelas didepan mata mereka?
"Hidupku telah berubah atas para bangsawan yang begitu penuh dengki dan iri hati, diatas semua ini adalah Duke Cornelius sendiri. Sedangkan kau, apa yang kau inginkan?"
Reinholdt menarik pedangnya keluar, menyilangkannya tepat di depan dada-nya. Sinar bulan membuat baja di pedang tersebut berkilau begitu terang, begitu murni.
"Aku telah diberhentikan secara tidak terhormat atas tuduhan pembunuhan yang tidak kulakukan. Dengan hilangnya aku, Saint Maiden telah kehilangan perlindungannya, semua akibat rencana pejabat Duke Cornelius!"
Duke Cornelius. Duke Cornelius. Kemanapun kau berada, nama tersebut akan terus dikutuk oleh semua orang di penjuru negeri.
Mathyea terdiam. Mereka yang menyebut nama tersebut mempunyai arti berbeda untuk sang magus, namun arti yang sama untuk kebencian pula. Paladin yang di depannya mempunyai tujuan yang begitu mulia, pancaran yang dia keluarkan membuat hatinya bergetar dan senyum mencair di wajahnya.
"...Aku mengerti."
Aye. Orang ini adalah orang paling tepat yang pernah dia temukan. Sosok-nya tidak akan ragu, dia akan terus maju dan mengambil panggung selayaknya seorang pahlawan akan lakukan.
"Reinholdt Fitzgerald. Apa yang kau inginkan?"
"Jatuhnya Duke Cornelius dan Dysson Dukedom. Mathyea Andou, apa yang kau inginkan lebih dari segalanya?"
"Jawaban atas penderitaan yang dilakukan Duke Cornelius!" seru Mathyea.
Mereka berdua tersenyum, sebuah paham telah ada dalam benak mereka berdua. Tak butuh sebuah kata untuk mengutarakannya.
Berjalan mendekat dan memperkecil jarak diantara mereka berdua, Mathyea mengulurkan tangan kanannya sambil menatap Reinholdt. Reinholdt tersenyum puas, bahu-nya kembali rileks dan dia menyarungkan pedangnya, lalu ikut mengulurkan tangannya.
"Senang bekerja denganmu, Sir Reinholdt."
"Dan denganmu juga, Sir Mathyea."
Kedua tangan mereka menjabat satu sama lain. Kanvas kelabu di atas mereka bagaikan padang berlian, kontras dengan padang hijau di bawah mereka. Jutaan bintang yang lebih terang dari biasanya bertaburan, terhampar luas di langit malam. Tanpa awan dan bulan, kerlipan bintang memancarkan cahaya murni kepada mereka berdua, seakan menjadi saksi biksu kedua kejahatan yang akan bersatu.
Aye, keruntuhan Duke Cornelius dan segala yang jahat bukanlah mimpi belaka lagi. Q.G.V akan muncul, teror yang mereka kirimkan akan menorehkan luka dalam jiwa dan tubuh mereka. Semuanya akan bermula dari sini.
...
Matahari kembali terbit esok harinya. Mathyea dan Reinholdt telah selesai mempersiapkan semua peralatan dan juga kuda mereka.
"Ngomong-ngomong, kemana tujuan kita?"
Reinholdt bertanya seraya menaiki kuda miliknya. Mathyea menatap peta yang dia pegang selama beberapa detik sebelum kembali menggulungkannya, sebuah pemandangan yang tidak akan asing lagi dalam waktu lama.
"Kota Ernsay. Di sana terdapat salah satu cabang Crimson dan juga tempat seseorang yang aku kenal."
Reinholdt hanya mengangguk setuju. Sebuah rencana harus di buat dalam waktu dekat, walau pihak Intelegensi akan memberi masukan atas bangsawan yang akan dibunuh dan langkah selanjutnya, kita tidak bisa terlalu bergantung kepada mereka... ada juga masalah kurangnya anggota yang harus segera diselesaikan.
"Aku harap kita dapat menemui seseorang yang mau bergabung..."
"...Aku harap juga begitu. Kalau begitu, ayo, kita jalan!"
"Oke!"
Dan dengan begitu, mereka pun memacu kuda mereka, melewati padang hijau luas.
Tak ada lagi pelayan yang akan memberi bekal dan juga senyuman yang akan menyemangati mereka. Tak ada lagi pemberkatan dan juga sorakan dari suster dan paladin lainnya. Mereka berdua hanya terus berjalan, menghadap ke depan.