ARCHIPELAGO of BHUMITARA
A. SEJARAHBhumitara adalah sebuah kepulauan besar yang berada di sebelah tenggara jagat Rune Millenia. Konon katanya menurut kisah turun temurun dari nenek moyang, kepulauan ini bukan merupakan kepulauan asli dari Rune Millenia, melainkan dahulu adalah sebuah bahtera raksasa yang digunakan untuk mengungsikan makhluk-makhluk dari dunia yang mengalami kehancuran nun jauh di sana, atau biasa disebut Dunia Pertama (Ellenia).
Kelangsungan hidup Bhumitara dijaga oleh pusaka berunsur air yang bernama Cambuk Nogosegoro yang dimiliki oleh penjaga Kerajaan Dalam Laut Selatan bernama Ratu Segara Kidul (Penguasa Laut Selatan) yang eksistensinya disegani dan ditakuti oleh seluruh penghuni Bhumitara. Ratu Segara Kidul sendiri sebenarnya hanyalah sebuah gelar untuk wanita yang menjaga pusaka Cambuk Nogosegoro, ia hanyalah seorang wanita manusia biasa yang ditunjuk oleh roh pusaka tersebut, apabila Ratu Segara Kidul pada periode pemerintahan tertentu meninggal atau mengundurkan diri dari jabatannya karena alas an tertentu, maka roh Cambuk Nogosegoro akan pergi mencari calon Ratu Segara Kidul yang baru.
Cambuk Nogosegoro ini dapat mengendalikan semua mahluk air yang ada di sekitar Bhumitara dari yang terlemah sampai yang paling kuat sekalipun; kekuatan lain dari pusaka ini adalah keberadaannya dapat memisahkan air di Rune Millenia dengan di Bhumitara. Pusaka Cambuk Nogosegoro vital perannya untuk kehidupan seluruh Bhumitara, karena perairan di sekitar Bhumitara berbeda dengan perairan di belahan Rune Millenia yang lain, antara air di Rune Millenia dan air di Bhumitara tidak bisa dicampur bagai minyak dan air. Perairan di Bhumitara merupakan air yang berasal dari Dunia Pertama yang hanya bisa dikonsumsi dan digunakan oleh penduduk dan alam di Bhumitara saja, sedangkan orang-orang dari belahan Rune Millenia lainnya tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa apabila mengkonsumsi air dari Bhumitara, dan begitu sebaliknya.
B. GEOGRAFISBhumitara adalah kepulauan yang terletak di sebelah ujung tenggara Rune Millenia. Terdiri dari empat pulau utama, yaitu Pulau Tana’neh di sebelah utara, Pulau Majoyo di sebelah barat, Pulau Waar di sebelah timur dan Pulau Dhaksinara di sebelah selatan. Kepulauan ini dikelilingi oleh dua samudera, Samudera Lor di bagian utara Pulau Tana’neh, Majoyo dan Waar; Samudera Madya di antara empat pulau utama, dan Samudera Kidul di sebelah selatan Pulau Majoyo.
Di sebelah utara Pulau Tana’neh sampai dengan sebelah utara Pulau Majoyo berjajar barisan pegunungan yang disebut Pegunungan Mongandhatu yang dianggap keramat oleh masyarakat Bhumitara karena dipercaya merupakan tempat para Mong (Sebutan Dewa di Bhumitara) bersemayam.
Untuk iklim sendiri, Bhumitara mempunyai iklim cenderung tropis yang membuat Bhumitara hanya mengalami dua musim, musim hujan dan musim kemarau. Tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan khas daerah tropis pun dapat ditemukan di kepulauan ini.
Suku-suku di Bhumitara memiliki kemiripan dengan suku-suku yang ada di Indonesia. Pulau Tana’neh dihuni oleh suku-suku pedalaman yang mirip dengan suku-suku di Kalimantan dan Sulawesi. Pulau Majoyo dan Pulau Dhaksinara dihuni oleh orang-orang yang mirip dengan suku-suku di Sumatera, Jawa dan Bali. Pulau Waar dihuni oleh suku-suku yang mirip dengan suku-suku di Maluku, Nusa Tenggara dan Papua.
C. RASRas di Bhumitara terdiri dari Ras Manungsha (Manusia Bhumitara) dan Ras Siluman. Ras ini sudah eksis sejak Bhumitara ada.
1.
Manungsha (Manusia Bhumitara)
Ras Manungsha memiliki ciri fisik seperti manusia. Berambut hitam dari lurus sampai keriting, berkulit dari putih langsat sampai hitam. Yang membuat Manungsha berbeda dengan manusia di Rune Millenia lainnya adalah mereka tidak bisa jauh-jauh dari Bhumitara, karena air di Bhumitara adalah satu-satunya air yang bisa dikonsumsi Manungsha. Hal itulah yang membuat orang-orang Bhumitara sangat introvert dan tidak pernah keluar dari kepulauan mereka, banyak cerita-cerita rakyat turun temurun yang menakut-nakuti mereka agar tidak berani keluar dari Bhumitara.
2.
Siluman
Siluman memiliki ciri fisik gabungan antara binatang dan manusia. Mereka mempunyai sejarah kelam ketika hidup berdampingan dengan manungsha yang membuat mereka mengasingkan diri ke hutan-hutan, pegunungan, dan dalam lautan untuk memulai peradaban. Para manungsha mencap semua siluman adalah jahat dan halal untuk dibunuh pada Era Pendekar, karena wujud mereka yang kebanyakan menakutkan dan mirip dengan binatang-binatang buas. Setiap siluman memiliki kemampuan untuk bisa tidak terlihat oleh manungsha yang didapat dari kutukan di masa lalu, sehingga siluman bisa membuat peradaban dengan tenang tanpa gangguan manusia.
D. PEMERINTAHANTingkat pemerintahan disusun dari yang paling tinggi ke paling rendah sebagai berikut:
1.
Kerajaan dipimpin oleh Raja (Pemimpin laki-laki) atau Ratu (Pemimpin perempuan). Istilah Raja atau Ratu bervariasi tergantung daerahnya. Di Kerajaan Naganas, istilah Raja adalah Mangkunaghara; sedangkan di Keratuan Srikhaya, istilah Ratu adalah Maharani.
2.
Kadipaten Agung dipimpin oleh Adipati Agung
3.
Kadipaten dipimpin oleh Adipati
4.
Kota/Kabupaten dipimpin oleh Bupati
5.
Kecamatan dipimpin oleh Camat
6.
Desa dipimpin oleh Kepala Desa
7.
Suku-suku primitive dipimpin oleh Kepala Suku
E. KONSEP AGAMAKepercayaan di Bhumitara pada awalnya masih menganut paham dinamisme dan animisme, seiring berjalannya waktu, agama-agama baru di Bhumitara mulai bermunculan. Agama yang mendominasi di Bhumitara adalah agama Srahing Maha Gusti yang mempercayai adanya satu Maha Gusti sebagai satu-satunya entitas yang dianggap Tuhan. Maha Gusti menciptakan entitas-entitas bernama Mong yang ditugaskan oleh Maha Gusti untuk memelihara Bhumitara dan seisinya sebagai wujud ibadah kepda Maha Gusti. Namun, banyak sekte-sekte sesat yang malah mengkultuskan Mong tertentu dan menjadikannya sesembahan berhala. Agama Srahing Mahagusti memiliki entitas jahat yang merupakan perwujudan dari kejahatan bernama Khala.
F. KONSEP SIHIR dan KANURAGANOrang-orang Bhumitara yang didominasi oleh agama Srahing Maha Gusti melarang penggunaan sihir, karena menyekutukan Maha Gusti. Sihir ini sendiri berupa “rapalan” yang merupakan kalimat-kalimat atau simbol-simbol yang apabila dibaca atau djtulis dengan ritual tertentu akan meminjam secara paksa kekuatan Mong yang ada. Kekuatan Mong ini ada yang menyimpannya di sebuah batu bertuah yang disebut Mustika yang dapat dipasang pada senjata, pakaian, maupun aksesoris lain untuk tujuan tertentu yang biasanya negatif. Sihir ini mengorbankan kanuragan yang relatif banyak, sehingga hanya orang-orang dengan ilmu tinggi yang dapat mengurangi pemakaian kanuragan saat menggunakan sihir.
Berbeda dengan sihir, Kanuragan merupakan energi yang dimiliki oleh setiap jiwa yang ada di Bhumitara. Namun hanya orang-orang tertentu yang dapat mengkonversi kanuragan ini menjadi energi yang bermanfaat seperti menyembuhkan diri atau malah memberi kehancuran seperti digunakan untuk pertarungan. Mengeluarkan kanuragan secara berlebihan dapat membuat orang yang menggunakannya kelelahan, dapat dipulihkan dengan makan dan minum atau istirahat secukupnya.
G. ARSITEKTURArsitektur di Bhumitara memiliki kemiripan dengan gaya arsitektur tradisional yang ada di Indonesia. Pulau Tana’neh mempunyai ciri arsitektur tradisional seperti di Kalimantan dan Sulawesi. Pulau Majoyo dan Pulau Dhaksinara mirip dengan arsitektur tradisional di Sumatera, Jawa dan Bali. Pulau Waar mirip dengan arsitektur tradisional di Maluku, Nusa Tenggara dan Papua.
H.