Meskipun cuma sekali saja saya ingin membuat game yang bertema Nusantara jaman dahulu. Sampai-sampai saya melakukan riset dengan melahap banyak buku, novel demi mengetahui setting latar sosial, budaya dan ekonomi tentang Majapahit. Dan siapa tahu dengan mengepost disini ada yang tertarik untuk memberi bantuan berupa tenaga, bahkan donasi (
lebih ngarep yg ini sih
). Sehingga gamenya jadi
.
Jadi maklum bila nanti ada cerita/kata-kata/petuah keren yang terinspirasi/mengutip/
copy-paste menulis kembali dari buku-buku setting Majapahit jaman dulu
Ada 4 chars. Yang masing-masing mewakili Majapahit(+1 bonus Telik Sandi), Pajajaran dan Pasai.
Setting tempat dan waktu di Alternate Majapahit
Prolog
"Pada zaman dahulu dilangit terdapat dua matahari. Dengan demikian siang menjadi sangat panas dan malam menjadi sangat dingin. Segala sesuatu menjadi sangat kacau. Penduduk bumi menderita karenanya. Kemudian muncullah seorang pahlawan yang dengan menggunakan panah menembak musnah satu matahari. Sehingga hanya menyisakan satu matahari di langit. Dengan cara itulah tercipta kedamaian di dunia. Selalu ada pahlawan yang muncul saat terjadi kekacauan, bukankah begitu Mahapatih? ujar seorang wanita kepada pria yang duduk didepannya.
"Meskipun mereka terlahir dari rahim yang berbeda, namun tetap dianggap satu garis keturunan. Manakah yang lebih berhak menduduki tahta. Pangeran pertama yang terlahir dari rahim seorang selir. Atau pangeran kedua yang lahir dari seorang permaisuri, ibu negara?"
"Tentu saja putra permaisurilah sang putra mahkota yang berhak menjadi penerus tahta negri ini". Ucap sang mahapatih mantap.
"Apa yang seharusnya kita lakukan? Kita tak bisa hanya duduk dan menunggu munculnya seorang pahlawan bukan?"
"Maafkan kebodohan saya permaisuri. Saya tidak paham maksud permaisuri?"
"Tolong jadilah hamba yang taat Mahapatih, jadilah pahlawan negri ini.
"Di langit hanya ada satu Matahari, dan juga hanya ada satu tahta". Keberadaan pangeran (blm diputuskan namanya) dapat mengancam putra mahkota mempertahankan tahta sebagaimana mestinya. Dikemudian hari ini bisa menimbulkan konfilik dalam tubuh Majapahit. Yang bisa menuntun negara ini menuju perang saudara, menuju kehancuran. Jadi kau harus bisa melenyapkan sumber permasalahan itu, sebelum benih tersebut tumbuh dan berkembang. Sebelum ia mencapai titik yang sulit untuk dimusnahkan saat ia bisa memperoleh dukungan kelompok lain".
"Majapahit hanya butuh satu pemimpin. Majapahit hanya butuh satu surya!"
Suara music requim mengiringi tampilan judul "Surya Majapahit" (Kayak film aja
)
Hujan deras melanda bumi. Saat itu terlihat seorang pemuda berjubah gelap, berpenutup muka hingga hanya menyisakan sedikit ruang di daerah mata dan bercaping berlari kencang mebawa bayi dalam dekapannya, melesat menembus kerindangan hutan dan deru hujan yang semakin deras. Selang beberapa langkah dibelakangnya, menempel ketat beberapa prajurit bertameng dengan keris terhunus. Mereka berjumlah 5 orang , 2 diantaranya membawa tombak dan sisanya keris.
'Nampak cahaya didepan sana. Sepertinya sebentar lagi kita akan melewati hutan ini'.
Tanpa diduganya Ia telah berdiri diujung jurang dengan aliran sungai dibawahnya. Kelima prajurit dibelakangnya ikut berhenti dan mengambil kuda-kuda bertarung.
"Telik dari mana kau!?. Serahkan bayi itu maka kami akan mengampuni nyawamu!" ujar seorang diantaranya.
Pemuda berjubah itu tidak menjawab. Ia menjatuhkan diri ke jurang.
Beberapa tahun kemudian
Di tanah Majapahit terdapat padepokan asri yang bernama Bumi Segara. Saat ini ada semacam penataran yang diikuti beberapa pangeran dari delapan penjuru tanah Jawa. Tempat dimana mereka diajari tata cara hidup beragama dan bermasyarakat yang baik dan benar. Tempat mereka diajari Ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan;meliputi sosial dan tanggung jawab. Disana mereka menjalin persahabatan dan belajar bersama-sama.
Pagi itu adalah pelajaran terakhir bagi peserta penataran. Sang Mahaguru Wiguna berkata "Manusia adalah makhluk yang fana. Mereka lahir ke dunia, menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia. Yang ditemuinya hanyalah duka dan penderitaan. Apalagi bila manusia tersebut tidak bisa menggapai keinginannya, maka iapun bertambah menderita.
Hai Ratungga, coba kamu sebutkan apa yang menyebabkan manusia menderita berkepanjangan? tanya Sang Mahaguru.
Sang pangeran segera menjawab dengan penuh hormat. "Penderitaan disebabkan adanya hawa nafsu di dalam diri manusia. Nafsu untuk menikmati kesenangan yang berlebihan. Jika manusai ingin hidup tentram maka dia harus berjuang berperang untuk mengendalikan hawa nafsunya".
Mahaguru mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil berkata "Benar!"
Pangeran Simatungga walaupun kau memeluk agama Hindu tapi sudah setahun kau mengikuti penataran ini. Coba sebutkan sila-sila dalam Pancasila.
"Ampun Mahaguru, ajaran ini sangat berkesan di hati hamba. Namun mohon ampun bila hamba sampai salah dalam menyebutkannya.
"Pancasila atau Larangan Yang Lima adalah satu, dilarang membunuh. Dua, dilarang mencuri. Tiga, dilarang berzina. Empat, dilarang menipu. Dan lima dilarang minum minuman keras yang memabukkan".
"Benar sekali!" Mahaguru tersenyum lebar.
"Jika ajaran itu dilaksanakan dengan sebenar-benarnya maka dijamin rakyat akan hidup damai, aman, negarapun bisa menjadi maju dan sejahtera".
Sang Mahagurupun melanjutkan pertanyaannya secara bergiliran kepada semua peserta penataran. Semua pertanyaannya yang sebenarnya adalah ujian akhir dari penataran itu bisa dijawab seluruhnya dengan baik oleh para peserta.
Sang Mahaguru mengangguk-angguk puas. Ia meneruskan petuah terakhirnya, "Yang lebh penting dari semua itu adalah kalian harus sadar bahwa kebaikan dan keadilan harus kita junjung tinggi di atas segalanya. Kalian adalah para calon penguasa di daerah kalian masing-masing. Kalian contoh bagi bawahan dan rakyat kalian. Maka tegakkanlah kebenaran dan keadilan di manapun kalian berada!".
"Sendika dawuh bapa guru!" Jawab para peserta penataran serempak.
"Camkan ini , bahwa kalian tidak akan pernah bisa memaksa orang lain mengikuti jalan pikiran dan keyakinan kalian. Namun kalian bisa belajar memaksakan diri sendiri untuk memahami orang lain. Janganlah suka memaksakan kehendak sendiri. Utamakan tenggang rasa, hargai pendapat dan keyakinan orang lain. Sering-seringlah bermusyawarah dalam segala hal. Itulah pangkal ketentraman dan kedamaian hidup bermasyarakat dan bernegara".
"Lalu bagaimana sikap kita seharusnya terhadap para penjahat, pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya Mahaguru? tanya salah seorang peserta.
"Sudah kusampaikan sebelumnya; Tegakkan kebenaran dan keadilan dengan kekuasaan atau jabatan yang kalian miliki". Jadilah suri teladan bagi rakyat kalian. Jika kalian tegas menegakkan hukum, maka rakyat akan dengan sendirinya mematuhi perintah kalian".
"Ingatlah selalu inti Asta Sanghika Marga; yaitu pertama Harus memiliki pengetahuan yang benar. Kedua, mengambil keputusan yang benar. Ketiga berkata dengan benar. Keempat, hidup dengan cara yang benar. Kelima, bekerja dengan benar. Keenam, Beribadah dengan benar. Dan Ketujuh, menghayati agama dengan benar.
Berakhirlah penataran untuk tahun ini. Akhir kata dari sang Mahaguru "Dan ingatlah Para Pangeran sekalian. Kesaktian yang hamba turunkan hanyalah alat untuk mempertahankan diri, untuk melindungi dan menolong kaum tertindas. Bukan wahana untuk menyombongkan diri".
Setelah para peserta membubarkan diri. Dan saat hanya ada Mahaguru di tempat tersebut. Mendekatlah seorang pemuda yang sepertinya juga mengikuti penataran tersebut.
"Mohon ampun Eyang. Hamba masih tidak mengerti kenapa hamba juga diikutkan dalam penataran ini?".
"Cucuku. Suatu saat engkau harus membaktikan dirimu untuk bangsa dan negara. Ikut berjuang membesarkan dan mengharumkan Majapahit.
"Maafkan kelancangan hamba Eyang guru, namun hamba tidak terlahir dari bibit para raja ataupun rahim para ratu. Apa gunanya hamba harus bersusah payah memutar otak dan memeras keringat. Hamba melihat air sungai mengalir dan akhirnya sampai di laut juga. Maka dari itu apa gunanya hamba berjuang? bukankah nasib sudah ditentukan oleh Yang Kuasa.
Mahaguru mengerutkan dahi, kemudian berkata "Apa yang kamu ucapkan itu adalah pegangan hidup para resi yang telah berusia lanjut, bukan untuk dirimu yang masih muda. Engkau ibarat matahari yang sedang menanjak, masih banyak yang membutuhkan sinarmu. Cucuku, engkau masih muda, jangan seperti ranting pohon yang mati. Terhanyut tiada berdaya dan dihempaskan gelombang lautan. Jadilah badai di atas lautan, yang menentukan gerak setiap gelombang. Mengaduk dan menggoncang isi samudera, melawan kehendak nasib. Ketahuilah cucuku, engkau berhutang budi kepada orangtua, masyarakat, raja dan negeri Majapahit ini. Hutang kepada orangtua, karena mereka engkau lahir. Mereka pula yang mengasuh dengan penuh kasih sayang dan membesarkanmu dengan tulus. Kepada masyarakat, karena mereka adalah orang-orang terdekat yang biasa membantumu". Sejenak Mahaguru terdiam.
"Hamba mengerti hutang budi kepada orangtua dan masyarakat, terutama kepada Eyang yang hamba anggap orangtua hamba sendiri. Namun tentang hutang budi terhadap raja dan negeri Majapahit, mohon beri hamba penjelasan"
"Tentang hutang budi kepada raja, karena raja yang telah memberi pengayoman berupa undang-undang dan hukum negara. Sehingga tidak ada lagi hukum rimba dimana yang kuat berkuasa bisa bertindak sewenang-wenang terhadap yang lemah. Dengan demikian rakyat dapat hidup dengan tentram, karena pelaku kejahatan akan ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Sedangkan hutang budi kepada negeri Majapahit, karena di bumi Majapahit inilah engkau dilahirkan. Hidup sebagai manusia bebas yang merdeka. Semoga engkau dapat menyadari dan memahaminya wahai cucuku.
Saat ini engkau telah dewasa dan cukup umur untuk menempuh jalanmu sendiri.
Pemuda tersebut terdiam.
Malamnya ia merenung, meresapi kata-kata gurunya yang telah membesarkannya tersebut. Berfikir untuk menentukan arah, jalan hidup yang nantinya akan dia tempuh.
Keesokan harinya ia menemui Mahaguru karena telah menemukan jalan hidup yang akan ia lalui.
"Pendapat dirimu bahwa engkau tidak lahir dari bibit para raja ataupun rahim para ratu itu tidak sepenuhnya benar. Sudah saatnya engkau tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Dan engkau akan menemukan jawabannya di Ibukota"
Sang pemuda terkejut, ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata tersebut.
"Jadi siapa sebenarnya saya eyang?Kenapa tidak pernah eyang membahas hal ini sebelumnya?"
"Akan ada seorang Telik Sandi yang akan membantumu disana, untuk merebut kembali hakmu, tempatmu memenuhi kewajiban akan kedudukanmu".
Mahagurupun bercerita panjang lebar apa yang beliau ketahui tentang pemuda tersebut, pemuda yang telah dibesarkannya semenjak bayi, pemuda yang sudah dianggapnya anaknya sendiri.
CatatanSaya agak ragu dibagian akhir ini antara mengungkap jati diri sang pemuda atau membiarkannya berangkat ke ibukota tanpa ia tahu asal usul dirinya...
Bagusnya gimana ya?