RPGMakerID
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Komunitas RPG Maker Indonesia
 
IndeksIndeks  Latest imagesLatest images  PencarianPencarian  PendaftaranPendaftaran  Login  
Per 2016, RMID pindah ke RMID Discord (Invite link dihapus untuk mencegah spambot -Theo @ 2019). Posting sudah tidak bisa dilakukan lagi.
Mohon maaf atas ketidaknyamanannya dan mohon kerjasamanya.

 

 Surya Majapahit

Go down 
PengirimMessage
Kuru
Senior
Senior
Kuru


Level 5
Posts : 985
Thanked : 9
Engine : RMVX
Skill : Beginner
Type : Writer

Trophies
Awards:

Surya Majapahit Empty
PostSubyek: Surya Majapahit   Surya Majapahit Empty2015-08-06, 06:47

Meskipun cuma sekali saja saya ingin membuat game yang bertema Nusantara jaman dahulu. Sampai-sampai saya melakukan riset dengan melahap banyak buku, novel demi mengetahui setting latar sosial, budaya dan ekonomi tentang Majapahit. Dan siapa tahu dengan mengepost disini ada yang tertarik untuk memberi bantuan berupa tenaga, bahkan donasi ( :ngacay: lebih ngarep yg ini sih :P  ). Sehingga gamenya jadi :senyum: .


Jadi maklum bila nanti ada cerita/kata-kata/petuah keren yang terinspirasi/mengutip/copy-paste menulis kembali dari buku-buku setting Majapahit jaman dulu :ngacay2:
Ada 4 chars. Yang masing-masing mewakili Majapahit(+1 bonus Telik Sandi), Pajajaran dan Pasai.

Setting tempat dan waktu di Alternate Majapahit


Prolog

"Pada zaman dahulu dilangit terdapat dua matahari. Dengan demikian siang menjadi sangat panas dan malam menjadi sangat dingin. Segala sesuatu menjadi sangat kacau. Penduduk bumi menderita karenanya. Kemudian muncullah seorang pahlawan yang dengan menggunakan panah menembak musnah satu matahari. Sehingga hanya menyisakan satu matahari di langit. Dengan cara itulah tercipta kedamaian di dunia. Selalu ada pahlawan yang muncul saat terjadi kekacauan, bukankah begitu Mahapatih? ujar seorang wanita kepada pria yang duduk didepannya.

"Meskipun mereka terlahir dari rahim yang berbeda, namun tetap dianggap satu garis keturunan. Manakah yang lebih berhak menduduki tahta. Pangeran pertama yang terlahir dari rahim seorang selir. Atau pangeran kedua yang lahir dari seorang permaisuri, ibu negara?"

"Tentu saja putra permaisurilah sang putra mahkota yang berhak menjadi penerus tahta negri ini". Ucap sang mahapatih mantap.

"Apa yang seharusnya kita lakukan? Kita tak bisa hanya duduk dan menunggu munculnya seorang pahlawan bukan?"

"Maafkan kebodohan saya permaisuri. Saya tidak paham maksud permaisuri?"

"Tolong jadilah hamba yang taat Mahapatih, jadilah pahlawan negri ini.

"Di langit hanya ada satu Matahari, dan juga hanya ada satu tahta". Keberadaan pangeran (blm diputuskan namanya) dapat mengancam putra mahkota mempertahankan tahta sebagaimana mestinya. Dikemudian hari ini bisa menimbulkan konfilik dalam tubuh Majapahit. Yang bisa menuntun negara ini menuju perang saudara, menuju kehancuran. Jadi kau harus bisa melenyapkan sumber permasalahan itu, sebelum benih tersebut tumbuh dan berkembang. Sebelum ia mencapai titik yang sulit untuk dimusnahkan saat ia bisa memperoleh dukungan kelompok lain".

"Majapahit hanya butuh satu pemimpin. Majapahit hanya butuh satu surya!"

Suara music requim mengiringi tampilan judul "Surya Majapahit" (Kayak film aja :ngacay: )



Hujan deras melanda bumi. Saat itu terlihat seorang pemuda berjubah gelap, berpenutup muka hingga hanya menyisakan sedikit ruang di daerah mata dan bercaping berlari kencang mebawa bayi dalam dekapannya, melesat menembus kerindangan hutan dan deru hujan yang semakin deras. Selang beberapa langkah dibelakangnya, menempel ketat beberapa prajurit bertameng dengan keris terhunus. Mereka berjumlah 5 orang , 2 diantaranya membawa tombak dan sisanya keris.

'Nampak cahaya didepan sana. Sepertinya sebentar lagi kita akan melewati hutan ini'.

Tanpa diduganya Ia telah berdiri diujung jurang dengan aliran sungai dibawahnya. Kelima prajurit dibelakangnya ikut berhenti dan mengambil kuda-kuda bertarung.

"Telik dari mana kau!?. Serahkan bayi itu maka kami akan mengampuni nyawamu!" ujar seorang diantaranya.

Pemuda berjubah itu tidak menjawab. Ia menjatuhkan diri ke jurang.


Beberapa tahun kemudian

Di tanah Majapahit terdapat padepokan asri yang bernama Bumi Segara. Saat ini ada semacam penataran yang diikuti beberapa pangeran dari delapan penjuru tanah Jawa. Tempat dimana mereka diajari tata cara hidup beragama dan bermasyarakat yang baik dan benar. Tempat mereka diajari Ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan;meliputi sosial dan tanggung jawab. Disana mereka menjalin persahabatan dan belajar bersama-sama.

Pagi itu adalah pelajaran terakhir bagi peserta penataran. Sang Mahaguru Wiguna berkata "Manusia adalah makhluk yang fana. Mereka lahir ke dunia, menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia. Yang ditemuinya hanyalah duka dan penderitaan. Apalagi bila manusia tersebut tidak bisa menggapai keinginannya, maka iapun bertambah menderita.

Hai Ratungga, coba kamu sebutkan apa yang menyebabkan manusia menderita berkepanjangan? tanya Sang Mahaguru.

Sang pangeran segera menjawab dengan penuh hormat. "Penderitaan disebabkan adanya hawa nafsu di dalam diri manusia. Nafsu untuk menikmati kesenangan yang berlebihan. Jika manusai ingin hidup tentram maka dia harus berjuang berperang untuk mengendalikan hawa nafsunya".

Mahaguru mengelus-elus jenggotnya yang panjang sambil berkata "Benar!"

Pangeran Simatungga walaupun kau memeluk agama Hindu tapi sudah setahun kau mengikuti penataran ini. Coba sebutkan sila-sila dalam Pancasila.

"Ampun Mahaguru, ajaran ini sangat berkesan di hati hamba. Namun mohon ampun bila hamba sampai salah dalam menyebutkannya.
"Pancasila atau Larangan Yang Lima adalah satu, dilarang membunuh. Dua, dilarang mencuri. Tiga, dilarang berzina. Empat, dilarang menipu. Dan lima dilarang minum minuman keras yang memabukkan".

"Benar sekali!" Mahaguru tersenyum lebar.
"Jika ajaran itu dilaksanakan dengan sebenar-benarnya maka dijamin rakyat akan hidup damai, aman, negarapun bisa menjadi maju dan sejahtera".

Sang Mahagurupun melanjutkan pertanyaannya secara bergiliran kepada semua peserta penataran. Semua pertanyaannya yang sebenarnya adalah ujian akhir dari penataran itu bisa dijawab seluruhnya dengan baik oleh para peserta.

Sang Mahaguru mengangguk-angguk puas. Ia meneruskan petuah terakhirnya, "Yang lebh penting dari semua itu adalah kalian harus sadar bahwa kebaikan dan keadilan harus kita junjung tinggi di atas segalanya. Kalian adalah para calon penguasa di daerah kalian masing-masing. Kalian contoh bagi bawahan dan rakyat kalian. Maka tegakkanlah kebenaran dan keadilan di manapun kalian berada!".

"Sendika dawuh bapa guru!" Jawab para peserta penataran serempak.

"Camkan ini , bahwa kalian tidak akan pernah bisa memaksa orang lain mengikuti jalan pikiran dan keyakinan kalian. Namun kalian bisa belajar memaksakan diri sendiri untuk memahami orang lain. Janganlah suka memaksakan kehendak sendiri. Utamakan tenggang rasa, hargai pendapat dan keyakinan orang lain. Sering-seringlah bermusyawarah dalam segala hal. Itulah pangkal ketentraman dan kedamaian hidup bermasyarakat dan bernegara".

"Lalu bagaimana sikap kita seharusnya terhadap para penjahat, pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya Mahaguru? tanya salah seorang peserta.

"Sudah kusampaikan sebelumnya; Tegakkan kebenaran dan keadilan dengan kekuasaan atau jabatan yang kalian miliki". Jadilah suri teladan bagi rakyat kalian. Jika kalian tegas menegakkan hukum, maka rakyat akan dengan sendirinya mematuhi perintah kalian".

"Ingatlah selalu inti Asta Sanghika Marga; yaitu pertama Harus memiliki pengetahuan yang benar. Kedua, mengambil keputusan yang benar. Ketiga berkata dengan benar. Keempat, hidup dengan cara yang benar. Kelima, bekerja dengan benar. Keenam, Beribadah dengan benar. Dan Ketujuh, menghayati  agama dengan benar.

Berakhirlah penataran untuk tahun ini. Akhir kata dari sang Mahaguru "Dan ingatlah Para Pangeran sekalian. Kesaktian yang hamba turunkan hanyalah alat untuk mempertahankan diri, untuk melindungi dan menolong kaum tertindas. Bukan wahana untuk menyombongkan diri".

Setelah para peserta membubarkan diri. Dan saat hanya ada Mahaguru di tempat tersebut. Mendekatlah seorang pemuda yang sepertinya juga mengikuti penataran tersebut.

"Mohon ampun Eyang. Hamba masih tidak mengerti kenapa hamba juga diikutkan dalam penataran ini?".

"Cucuku. Suatu saat engkau harus membaktikan dirimu untuk bangsa dan negara. Ikut berjuang membesarkan dan mengharumkan Majapahit.

"Maafkan kelancangan hamba Eyang guru, namun hamba tidak terlahir dari bibit para raja ataupun rahim para ratu. Apa gunanya hamba harus bersusah payah memutar otak dan memeras keringat. Hamba melihat air sungai mengalir dan akhirnya sampai di laut juga. Maka dari itu apa gunanya hamba berjuang? bukankah nasib sudah ditentukan oleh Yang Kuasa.

Mahaguru mengerutkan dahi, kemudian berkata "Apa yang kamu ucapkan itu adalah pegangan hidup para resi yang telah berusia lanjut, bukan untuk dirimu yang masih muda. Engkau ibarat matahari yang sedang menanjak, masih banyak yang membutuhkan sinarmu. Cucuku, engkau masih muda, jangan seperti ranting pohon yang mati. Terhanyut tiada berdaya dan dihempaskan gelombang lautan. Jadilah badai di atas lautan, yang menentukan gerak setiap gelombang. Mengaduk dan menggoncang isi samudera, melawan kehendak nasib. Ketahuilah cucuku, engkau berhutang budi kepada orangtua, masyarakat, raja dan negeri Majapahit ini. Hutang kepada orangtua, karena mereka engkau lahir. Mereka pula yang mengasuh dengan penuh kasih sayang dan membesarkanmu dengan tulus. Kepada masyarakat, karena mereka adalah orang-orang terdekat yang biasa membantumu". Sejenak Mahaguru terdiam.

"Hamba mengerti hutang budi kepada orangtua dan masyarakat, terutama kepada Eyang yang hamba anggap orangtua hamba sendiri. Namun tentang hutang budi terhadap raja dan negeri Majapahit, mohon beri hamba penjelasan"

"Tentang hutang budi kepada raja, karena raja yang telah memberi pengayoman berupa undang-undang dan hukum negara. Sehingga tidak ada lagi hukum rimba dimana yang kuat berkuasa bisa bertindak sewenang-wenang terhadap yang lemah. Dengan demikian rakyat dapat hidup dengan tentram, karena pelaku kejahatan akan ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Sedangkan hutang budi kepada negeri Majapahit, karena di bumi Majapahit inilah engkau dilahirkan. Hidup sebagai manusia bebas yang merdeka. Semoga engkau dapat menyadari dan memahaminya wahai cucuku.
Saat ini engkau telah dewasa dan cukup umur untuk menempuh jalanmu sendiri.

Pemuda tersebut terdiam.
Malamnya ia merenung, meresapi kata-kata gurunya yang telah membesarkannya tersebut. Berfikir untuk menentukan arah, jalan hidup yang nantinya akan dia tempuh.

Keesokan harinya ia menemui Mahaguru karena telah menemukan jalan hidup yang akan ia lalui.

"Pendapat dirimu bahwa engkau tidak lahir dari bibit para raja ataupun rahim para ratu itu tidak sepenuhnya benar. Sudah saatnya engkau tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Dan engkau akan menemukan jawabannya di Ibukota"

Sang pemuda terkejut, ia tidak menyangka akan mendengar kata-kata tersebut.
"Jadi siapa sebenarnya saya eyang?Kenapa tidak pernah eyang membahas hal ini sebelumnya?"

"Akan ada seorang Telik Sandi yang akan membantumu disana, untuk merebut kembali hakmu, tempatmu memenuhi kewajiban akan kedudukanmu".

Mahagurupun bercerita panjang lebar apa yang beliau ketahui tentang pemuda tersebut, pemuda yang telah dibesarkannya semenjak bayi, pemuda yang sudah dianggapnya anaknya sendiri.

Catatan
Saya agak ragu dibagian akhir ini antara mengungkap jati diri sang pemuda atau membiarkannya berangkat ke ibukota tanpa ia tahu asal usul dirinya... :|
Bagusnya gimana ya?


Terakhir diubah oleh Kuru tanggal 2015-08-18, 02:06, total 2 kali diubah (Reason for editing : update)
Kembali Ke Atas Go down
http://pejuangmimpi7.blogspot.com
Kuru
Senior
Senior
Kuru


Level 5
Posts : 985
Thanked : 9
Engine : RMVX
Skill : Beginner
Type : Writer

Trophies
Awards:

Surya Majapahit Empty
PostSubyek: Re: Surya Majapahit   Surya Majapahit Empty2015-08-18, 06:12

Matahari baru saja naik ke ufuk timur. Kedua pengawal Pangeran Simatungga baru saja selesai menyiapkan bekal untuk perjalanan pulang kembali ke Pakuan. Wisesa dan Sapana nama keduanya. Bersama-sama dengan pangeran mereka memacu kuda masing-masing meninggalkan pesanggrahan. Mereka tidak mengenakan pakaian kebesaran. Hanya menyamar sebagai penduduk biasa yang sedang bepergian.

Mereka memacu kuda dengan cepat sampai memasuki wilayah perbatasan Pakuan. Hingga mereka sampai di sebuah tempat yang serasa asing. Melewati ruang terbuka di tengah-tenngah hutan.
"Apakah setahun yang lalu kita melewati tempat ini paman? tanya Pangeran Simatungga kepada Wisesa.
"Tidak Pangeran, setahun yang lalu kita melewati jalur selatan hutan ini. Saat ini kita sengaja mengambil jalan pintas agar cepat sampai di kota Raja" Jawab Wisesa.
"Dan kalau hamba tidak salah ingat, setelah melewati hutan ini kita akan sampai ke sebuah perkampungan". lanjutnya.

"Hai paman, engkau lupa. Jangan sebut aku Pangeran. Kita sedang dalam perjalanan dan menyamar. Panggil saja aku Sima. kata Pangeran Simatungga

"Duh maaf , eh kok saja malah jadi nggak enak gini.. Sima".

Dan benar, setelah melewati daerah terbuka tersebut mereka sampai ke sebuah desa.
Ketika sampai di ujung desa bertanyalah Simatungga
"Apa nama desa ini Paman?"
"Maaf Pangeran , hamba sudah lama tidak mengunjungi desa ini. Kalau tidak salah desa ini bernama desa Perdu".
"Oi Paman". Sima menyorot dengan tatapan mata setengah menutup.
"Eh iya maaf.. Sima".

Saat memasuki desa mereka berpapasan dengan beberapa penduduk. Anehnya para penduduk ini menunjukkan sikap sinis, kurang bersahabat. Tak jauh dari situ , ada sebuah gardu ronda.  tempat itu penuh dengan teriakan. Mendekatlah mereka kesana dan melihat disana ada sekelompok anak muda yang sedang bermabuk-mabukan dengan minuman tuak sambil bermain dadu.

"Hai kalian berhentilah sejenak. Temani kami minum tuak. Bukankah semakin ramai semakin meriah. Semakin melayang dan melayang. Kata seorang pemuda dengan kondisi teler dan sempoyongan. Teman-temannya yang lain yang mendengar mengiyakan juga ikut mengajak. Mereka mengulang perkataan barusan dengan nada belepotan.

Sima memberi syarat kepada kedua pengawalnya agar tidak meladeni  ulah para pemuda tersebut. Merasa tidak ditanggapi, para pemuda tersebut mencaci maki dengan ucapan-ucapan kotor.
Mereka tetap meneruskan perjalanan. Walaupun dalam hati Wisesa dan Sapana panas akan kelakuan anak-anak muda yang sedang mabuk tersebut.
"Paman kita mampir sebentar, aku mau melihat keadaan desa". Ucap Simatungga kepada kedua pengawalnya.
"Bukankah sepulang ke Istana aku juga harus bersiap untuk mengembara, melakukan perjalanan menuju kedewasaan? jadi anggap saja aku melakukannya sedikit lebih awal. Dan dengan adanya paman berdua disini. Aku mendapat keringananan pada tahap awal bukan?.
Ucap Simatungga sebelum Sapana dan Wisesa sempat mengajukan keberatan.

Di alun-alun desa yang nampaknya menjadi pusat keramaian mereka turun dari kuda. Sapana bertugas menjaga kuda yang ditambatkan di bawah pohon Mangga di daerah alun-alun. Desa yang sangat luas dan lapang.

Simatungga dan Wisesa mendatangi sebuah pondok yang ramai dengan sorak sorai. Kerumunan disana memang mengundang tanda tanya, membuatnya penasaran. Di tempat tersebut sesekali terdengar teriakan gembira dan umpatan kekecewaan. Nampaknya mereka sedang bermain dadu, sama seperti yang dilakukan oleh para pemuda ronda. Namun sepertinya permainan ini terlihat jauh lebih besar.

"Ayo main! Pasang! Pasang!" teriak si bandar dadu.

'Seperti inikah kelakuan sebagian rakyatku?' kata Sima dalam hati.

Sima berkeliling ke tempat-tempat lainnya. Semua orang yang berkerumun ternyata kalau tidak main dadu pasti menyabung ayam dengan taruhan. Hal itu terjadi sampai di sudut-sudut desa. Warung-warung pun menjual tuak dengan bebas. Nampak beberapa pelanggannya yang membuat masalah karena mabuk sedang diatasi oleh orang yang berbadan besar.

Tentunya kalau tidak melihatnya sendiri pasti ia tidak akan percaya. Terbesit kekecewa dalam dadanya melihat kenyataan seperti ini. Di tengah digalakkannya penyuluhan-penyuluhan dan pencerahan agama. Ternyata masih ada sebuah desa maksiat. Bukankah judi dan minuman keras dilarang oleh semua agama?.

Sima dan Wisesa akhirnya ikut bergabung di arena perjudian yang paling ramai pengunjungnya. Mereka menyaksikan tingkah laku si bandar dan anak buahnya dengan seksama. Tak lama kemudian ketahuan kalau ternyata bandar berbuat curang. Dadu sengaja diatur sedemikian rupa sehingga taruhan dengan uang paling kecil sering keluar. Sedangkan taruhan dengan nilai yang besar selalu kalah.

Simapun nimbrung ikut taruhan. Mula-mula ia hanya mengeluarkan sedikit uang. Bandar dan anak buahnya sepertinya sengaja memenangkannya. Kini uangnya jadi berlipat-lipat.
Simatungga pun akhirnya membuka buntalan yang di bawanya. Ia mengambil lebih banyak uang dan digabung dengan uang hasil kemenangan barusan. Semua dipertaruhkan. Tentu saja hal ini membuatnya menjadi sorotan banyak orang. Ia menjadi pusat perhatian akan keberanian atau kenekatannya bertaruh.

Dengan wajah berbinar si bandar mengedip-ngedipkan mata ke arah anak buahnya. Orang polos yang melihatnya mungkin akan mengira si bandar genit atau kelilipan. Namun bagi orang-orang yang berfikir nampak kalau ia sedang memberikan kode.
Inilah tujuan yang sedang ia tunggu , pancingannya memberikan hasil. Sima mengeluarkan semua uangnya.

"Ayo ayo, siapa lagi yang mau pasang!" teriak nyaring si bandar sambil mengaduk-aduk dadu dalam dandang tembaga. Kini dandang sudah diletakkan di atas tikar.
"Siapa lagi!? Masih ada waktu untuk pasang taruhan!" teriaknya lagi.

Sima bertaruh pada posisi enam biji. Dengan trik lihai si bandar mengubah posisi dadu ke nomer satu. Sima membiarkan kelakuan si bandar.

"Ayoo buka! Cepat buka dandangnyaa!!!" teriak orang-orang yang bertaruh.

Dalam waktu satu detik sesaat sebelum dandang terbuka, Sima menyalurkan tenaga dalamnya untuk mengubah posisi dadu ke nomer enam.
Maka saat dandang terbuka, terbelalaklah mata si bandar. Selama hidupnya baru kali ini ia gagal menggunakan trik yang ia asah dan ia gunakan sejak dulu.
Ada yang berteriak kecewa dan ada pula yang bergetar dengan nada gembira melihat hasil bukaan dadu. Sang bandar kalah. Simatungga tersenyum nyengir ke arah bandar. Ia mengumpulkan semua uang kemenangannya. Bandar yang bertubuh gendut pendek itu menjadi penasaran.  Kemenangan Sima ini kebetulan atau ia memang salah langkah saat menggunakan trik. Padahal sudah direncanakannya pada bukaan ini semua uang Sima akan disikiatnya habis.

"Masih buka?" tanya Sima kepada bandar yang melamun.
Sang bandar masih terpana dan bengong. Tepukan anak buahnyalah yang membuat ia tersadar.
Eh, iya masih, masih buka. Ayo siapa lagi yang mau bertaruh!?" kata Bandar gelagapan.

Orang-orang yang bertaruh mulai memperhatikan ke arah berapa Sima memasangkan uangnya. Merekapun ikut-ikutan memasang di nomer yang sama. Hingga nomer yang dipasang Sima penuh dengan tumpukan uang.

"Kalian hanya bertaruh di satu nomer ini saja? Yakin?" tanya bandar keheranan.

"Yakin!" jawab semua orang.
"Ayo buruan kocok dadunya dan buka!"

Dengan wajah berseri sang bandar mengocok dadu dan kembali menggunakan trik kecurangan yang sama. Simapun kembali menggunakan tenaga dalamnya untuk menggeser kembali arah dadu.

"Ayo cepat bukaa!" teriak para petaruh yang tidak sabar.

Namun apa yang terjadi ketika dandang dibuka. Semua petaruh berteriak kegirangan. Karena sepertinya baru kali ini mereka bisa menang.

"Menang!!!"

Si bandar tak bisa lagi menahan amarahnya. Ia memberi isyarat dengan satu tangannya(nggak pakai kedap kedipan mata) kepada orang-orang berbadan besar dan kekar dibelakangnya agar bergerak. Dua orang tukang pukul berwajah maju. Keduanya serentak menendang ke arah para peraih kemenangan menyebabkan beberapa petaruh yang sedang jongkok mengumpulkan uangnya terjungkal keluar arena dadu. Mereka mengaduh kesakitan. Namun ketika salah seorang diantaranya hendak mengghentakkan kakinya ke arah kepala Sima. Tiba-tiba saja tubuh orang tersebut terlempar jauh kebelakang ke arah sang bandar.

Nasib yang sama juga dialami seorang sisanya yang hendak melontarkan kepalan tangannya ke arah kepala Sima.  Ia terpental jauh kebelakang bahkan menjebol tembok pondok yang terbuat dari kayu.

Wisesa yang melakukannya. Ia takkan membiarkan seorangpun yang berani hendak melukai junjungannya.

Simatunga yang mengetahui hal itu berdiri santai. Sang bandar berteriak ke arah kerumunan permainan dadu lainnya dan  ke kerumunan sabung ayam tak jauh dari tempat itu. Kira-kira sekitar 20an tukang pukul bergerak dari tempat jaga mereka masing-masing. Mereka berlarian ke arah bandar.

"Jadi begini caramu jika kalah bermain? kau mau merampok uang kami? kata Sima.

Dalam sekejap 20 tukang puluk yang dipanggil bandar telah mengepung mereka berdua.  Para pemain di dalam pondok ketakutan, mereka berhamburan keluar dari tempat itu.

Wisesa merapatkan tubuhnya ke arah Sima sembari berbisik, "Keadilan dan kebenaran harus ditegakkan dengan kekuatan" ia mengutip kalimat mahaguru yang ia dengar saat penataran.

"Kalian benar-benar cari mati disini!" ucap salah seorang tukang pukul.

Wisesa meladeni gertakan itu dengan senyum sinis. Sebagai Perwira tinggi Puragabaya(Pasukan elit Pakuan) yang sudah kenyang asam garam dunia pertempuran.
Berkatalah ia "Jangankan hanya dua puluh orang seperti kalian. Ditambah menjadi seratuspun kami tidak gentar.

"Tunggu apa lagi ?! Ayo serang!" ucap salah seorang diantaranya.

Battle


"Ampuun" para tukang pukul menyerah.
Sang bandar menjadi pucat pasi.
"Bagaimana? masih mau melanjutkan perlawanan?
"Tidak tuan"
"Sudah berapa lama perjuadian di desa ini berlangsung?

"... belum lama tuan... baru dua tahun ini" gemetaran sang bandar menjawab

Sima berbisik kepada Wisesa untuk mengumpulkan seluruh penduduk desa.

"Aku sudah melihat keadan desa ini" ucap Sima membuka pembicaraan dengan suara lembut namun terdengar jelas.

"Banyak sawah dan ladang terbelengkalai tidak digarap dengan baik karena para pemuda desa ini malas. Kalian para pemuda lebih suka main judi dan mabuk-mabukan tidak jelas. Padahal perbuatan itu jelas-jelas merugikan kalian sendiri. Lihat! sudah berapa lama kalian ditipu oleh bandar judi ini?!"
"Ia berbuat curang , mengakali kalian dengan permainan dadunya. Hingga banyak diantara  kalian yang jatuh miskin. Apa kalian ingin lebih miskin dan menderita lagi!?"

"Tidak mauu" jawab para penduduk desa serempak.

"Siapa yang menjadi lurah di desa ini? Sima mengedarkan pandangannya.
Tidak ada yang menjawab. Sima mengulangi kembali pertanyaannya. Hingga akhirnya ada seorang pemuda dengan tubuh kurus maju mendekat.

"Lurah kami adalah orang yang baik. Dia berusaha melarang permainan dadu dan sabung ayam di desa ini. Tapi dia dibunuh oleh para tukang pukul bandar kurang ajar itu!". kata si pemuda sambil menunjuk ke arah bandar.

"Oh jadi sudah sejauh itukah perbuatan jahat kalian?"
Sima mendekati sang bandar dan menendangnya hingga ia terlempar terjungkal dan terguling.

"Siapa namamu pemuda? tanya Wisesa.
"Nama saya Walit. Lurah yang mereka bunuh adalah bapak saya". jawab pemuda tersebut.

Sima memberi isyarat agar Wisesa angkat bicara.

"Saudara-saudara sekalian. Kalian harus menghentikanmain dadu sabung ayam. Tidak boleh minum tuak sampai mabuk. Karena perbuatan itu merugikan kalian sendiri. Mau?

"Mau!" jawab penduduk desa serentak.
Wisesa menyeret sang bandar ke rumahnya. Semua harta didalamnya dikeluarkan, dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk miskin desa. Begitu juga dengan uang hasil kemenangan Sima, semua diberikan kepada penduduk yang membutuhkan.

Sang bandar dan anak buahnya diusir dari desa.

"Terima kasih tuan, seumur hidup kami tidak akan melupakan jasa besar tuan. Kata Walit mewakili para penduduk desa. Bolehkah kami mengetahui nama para penolong kami?

Sima mengenalkan dirinya "Namaku Simatungga dan ini pamanku Wisesa" sambil memgang pundak Wisesa.

"Kau punya jiwa pemberani dan tegas. Kamu cocok menggantikan ayahmu sebagai lurah di desa ini".

Wisesa berkata dengan suara keras. "Saudara-saudara sekalian bagaimana jika Walit menjadi lurah kalian?"

"Setujuuu!" ucap para penduduk serempak.

"Mulai sekarang kamulah yang akan memimpin desa ini. Majukan desa ini. Soal kedudukanmu ini aku yang akan menyampaikannya langsung kepada Sri baginda".

"Terima kasih tuan.. ucap Walit terbata-bata.

"Apakah bandar judi dan 20 orang anak buahnya itu warga desa ini? tanya Sima?

"Bukan. Mereka pendatang dari desa lain. Kami tak mengenal jelas asal usul mereka. jawab Walit.

"Baiklah, mereka harus kembali ke tempat mereka semula. Jangan kuatirkan mereka lagi. Kami berdua telah mencopoti urat dan otot mereka hingga mereka tidak akan bisa menggunakan ilmu silatnya. Mereka hanyalah orang biasa sekarang.

"Tuan-tuan, hari sudah mampilah tuan-tuan untuk kami jamu malam ini. Bermalam di desa kami.

Simatungga dan Wisesa saling pandang kemudian menganggukkan kepala tanda setuju atas tawaran tuan rumah.


NB: Ternyata nulis banyak itu pegel dan lamaa. Langsung jadiin game ajalah


Terakhir diubah oleh Kuru tanggal 2015-08-19, 09:28, total 2 kali diubah (Reason for editing : memperbaiki salah tulis)
Kembali Ke Atas Go down
http://pejuangmimpi7.blogspot.com
 
Surya Majapahit
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
RPGMakerID :: Creative Commons :: Game Design-
Navigasi: