Chapter 2 : Intervention Derap langkah kaki seorang player yang sedang berlari, menghentak keras barisan rumput di atas tanah suatu dataran hijau. Menggenggam erat tongkat, tetap fokus, kemudian meneriakkan nama skill yang digunakan.
“Electroic Halter!!”
Sejumlah percikan listrik ditembakkan lurus ke arah belakang setelah melompat dan membalikkan punggungnya sesaat. Sepertinya aku mengenai mereka. Terus berlari dengan kecepatan penuh, menerobos masuk ke dalam hutan lebat yang bahkan pemandangan langit di atasnya tertutup oleh pepohonan rindang. Hingga ia menemukan sebongkah batu besar di hadapannya. Tempat berlindung yang bagus!
Skill yang lain pun segera diaktifkan. “Alter Mind.” Aura di sekitar tubuh player perempuan berambut perak dan berjubah penyihir berwarna pink yang dilengkapi mantel putih di punggungnya itu mulai memancarkan cahaya. Kemudian secara perlahan terkumpul di ujung tongkat kayu berhiaskan batu permata berwarna biru gelap miliknya.
*Rooooaarr*
Monster yang menyerupai seekor babi hutan raksasa setinggi tujuh meter dengan tiga buah tanduk besar di kepalanya, abdomen berukuran ekstra lebar ditambah memiliki kecepatan seperti kuda pacu, berlari dengan sangat buasnya seolah sama sekali tidak berniat untuk melepaskan mangsa di depannya. Diikuti oleh dua monster kijang jantan bermata merah menyala dengan bulu hitam tebal, yang menembakkan sinar berwarna ungu pekat dari mulut mereka. *Boooom*. Hampir seluruh batu besar yang dijadikan tameng itu hancur berkeping-keping.
“Akh, begini repotnya Spellcaster kalau bermain solo!”
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja ketiga monster itu terdiam bagaikan tersengat listrik bertegangan tinggi yang membuat kaki mereka tak mampu digunakan untuk melangkah. Bagus! Efek dari Electroic Halter sudah aktif! Sekarang saatnya! Tyra segera keluar dari balik batu tempatnya berlindung dan langsung menghadap ke arah targetnya dengan pose siap bertarung.
“Wahai para perusak alam yang terkutuk, segera enyahlah dari dunia ini dan terimalah hukuman mati dariku!!”
Kalimat yang diucapkan dengan suara lantang itu seakan membakar semangat bertarungnya. Tyra memejamkan mata dan kembali memfokuskan energi ke dalam senjata yang digenggam kedua tangannya.
“Razing Thunderia!”
Segenap gelombang energi petir yang terkonsentrasi ditembakkan lurus ke arah atas, mendekati sekawanan monster yang tidak bisa bergerak akibat terkena efek state immobilized itu. Energi tersebut semakin padat dan meluap di udara sebelum mengeluarkan badai petir dahsyat yang menghujam tanah. Ledakan beruntun terjadi di seluruh area sekeliling mereka. Tanah dan bebatuan di sekitarnya ikut mengalami kerusakan parah seperti terkena serangan hujan meteor. Tak ada yang tersisa. Window yang menunjukkan perolehan experience point dan item muncul di depan wajahnya, lalu menghilang setelah dikonfirmasi.
“Huff…” Tyra bersandar pada pohon dan terduduk sambil meluruskan kaki untuk melemaskan ototnya dengan napas yang terengah-engah dan dipenuhi rasa lega.
“Ahahaha! Yay, aku berhasil!”
Bukanlah hal yang mudah untuk seorang diri mengalahkan monster berkecepatan tinggi dan berdaya hancur cukup besar, bagi player yang memilih Spellcaster sebagai class-nya. Diperlukan strategi yang matang agar dapat menyerang secara optimal, menghindari serangan, menjaga jarak dari lawan dan yang paling penting adalah menjaga Spirit Point (SP) selalu tetap tersedia. Dengan melawan satu Tyrant Boar dan dua Dark-Ox, Tyra sudah menghabiskan lusinan botol health dan stamina potion. “Menjijikan sekali, monster jelek itu namanya mirip denganku!” Sesudahnya beristirahat dia telah bersiap untuk kembali menuju ke kota.
Aku akan segera memenuhi janjiku… Ibu.
♦♦♦
“Tinggal pintu ini yang tersisa! Ayo cepat buka!”
“Kau jaga di sini! Biar kami berdua yang periksa ke bawah!”
Dua dari tiga orang berpakaian hitam yang diperintahkan untuk menangkap Alec, bergegas memasuki pintu elevator berukuran kecil itu. Setelah bergerak turun dan berhenti, mereka berdua sampai pada sebuah ruangan yang dipenuhi warna putih terang dan melihat ada seseorang di sana.
“Siapa yang mengijinkan kalian masuk ke sini?? Ini ruang pribadiku!”
“Ma- maafkan kami, Professor Sugo!”
Sugohara Daitou adalah seorang profesor kelahiran Jepang yang bekerja di bawah pengawasan Biotrix sebagai kepala tim peneliti dan pengembang proyek rahasia yang ditempatkan di Inggris. Tentu saja DiverDrive merupakan salah satu produk terbesar dari hasil penelitiannya. Dia sudah memiliki peran penting dalam pengembangan game VO.
“Kami sedang mencari seorang penyusup yang memasuki gedung ini. Apakah Anda melihat ada orang yang masuk, Professor?”
“Tidak ada siapapun di sini kecuali aku sendiri.”
Laboratorium yang terletak di bawah tanah ini merupakan ruangan yang hanya boleh dimasuki oleh Sugo seorang. Dengan kata lain, sudah menjadi tempat yang sering digunakan olehnya untuk menghabiskan waktu hampir sepanjang hari. Selain dilengkapi dengan berbagai alat dan teknologi yang menunjang penelitiannya, di sini juga terdapat fasilitas umum seperti kamar mandi, dapur bahkan kamar tidur.
“Be- begitukah Professor? Tapi sekarang hanya tempat ini yang paling memungkinkan penyusup itu untuk sembunyi.”
“Kalau tidak percaya silahkan cari saja. Tapi lakukan dengan cepat, pekerjaanku masih banyak di sini.”
“Baik. Terima kasih, Professor. Hei kau cari ke sebelah sana! Aku akan periksa di sekitar sini!”
Mereka berdua pun berpencar sampai ke setiap sudut ruangan dan memeriksa tempat-tempat yang sekiranya dapat digunakan untuk bersembunyi. Di tengah ruangan terlihat jelas benda berbentuk tabung besar kosong yang dilapisi oleh kaca transparan. “Tidak ada… Di sebelah sana pun tidak ada siapa-siapa.” Meskipun sudah mencari di seluruh ruangan, tetap tidak ada yang ditemukan. “Sudah kubilang, kan? Kalau tidak ada lagi urusan di sini sebaiknya kalian segera keluar.” Sugo seperti sedang menyembunyikan sesuatu dan ingin mereka cepat meninggalkan ruangannya.
“Maaf telah mengganggu waktu Anda, Professor. Jika ada sesuatu mohon segera melapor.”
“Ya. Salahku juga tadi lupa mengaktifkan keamanan di pintu masuk.”
Kedua pria bertubuh besar yang masih merasa terheran-heran itu berlari menuju pintu keluar. “Kita belum periksa ventilasi di atas. Mungkin dia kabur lewat sana.”, “Oh, benar juga! Kenapa bukan daritadi!” Obrolan itu semakin lama semakin tidak terdengar seiring dengan menutupnya pintu elevator dan akhirnya tinggal Sugo seorang yang berada di laboratorium. Sekilas dia mengingat kembali keberadaan seorang pemuda berambut pirang yang tadi sempat menggunakan alat penelitiannya.
“Aku harus segera memonitor keadaannya di dalam sana!”
Memang benar. Sebelum ruangan lab bawah tanah itu dimasukki oleh para penjaga keamanan, Alec telah berada di sana terlebih dahulu. Dan sekarang tubuhnya tidak dapat ditemukan dimana-mana. Sugo bergegas menuju sebuah layar monitor besar kemudian dengan cepat mengetik sesuatu pada keyboard di depannya disertai oleh perasaan cemas.
“Semoga semuanya baik-baik saja. Kumohon bertahanlah...”
♦♦♦
Teriknya sinar matahari membuat suhu dan kelembaban di sekitarnya menimbulkan ketidaknyamanan. Alec berjalan terhuyung-huyung seolah keseimbangan tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Kepalaku serasa mau pecah. Tubuhku terasa mual. Dia berjalan mendekati sebuah sumber mata air yang berada di tengah hutan dengan sempoyongan.
*Dugh*
“Aw.. .”
Tanpa sengaja, tangannya menyerempet sebuah dinding bebatuan berstruktur permukaan kasar yang berada di dekat pepohonan di tepi sungai. Ugh, cerobohnya aku. Setitik darah pun keluar dari goresan luka kecil di bagian sikutnya. Walaupun sedikit, tetap saja rasa sakit itu jelas sekali dapat dirasakan.
Air yang terlihat jernih dan segar mengalir dengan tenang di antara bebatuan kecil dan tanaman air yang menghiasi permukaan sungai di depannya. Alec kemudian berhenti di bagian tepi untuk membasuh wajahnya, membersihkan luka di lengannya dan mengambil beberapa tegukan air.
Alec berusaha mengatur irama napasnya secara perlahan dan mencoba beradaptasi dengan atmosfer yang dirasanya kurang bersahabat itu.
Demi apapun, dimana ini? Hutan?
Kepalanya tertunduk sembari berpikir mengenai apa yang telah terjadi, wajahnya kemudian menengadah ke atas dan dia berbaring di atas tanah beralaskan rerumputan yang hijau.
Jangan-jangan.. ini yang namanya dunia virtual...
Wajar saja jika dia berpikir demikian. Pemandangan alam penuh warna bagaikan lukisan yang dibuat oleh seorang seniman profesional dan nuansa asri yang terlihat menakjubkan itu, membuatnya seolah-olah sedang berada di suatu negeri fantasi. Memejamkan mata, kemudian menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang berselancar di permukaan tubuhnya.
“Haa.. nikmatnya..”
Sesaat setelah lama memejamkan mata dan hampir terlelap dalam tidur, ada sesuatu yang mengganggu suasana nyaman itu.
*Beep*.. *beeep*.. *Bzzt*..!! *Bzztt*. !!
Eh? Suara apa.. Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara digital aeperti sinyal yang terputus-putus, entah berasal dari mana. Semakin lama, suara itu tidak hanya menimbulkan bunyi dengung saja, melainkan suara seorang manusia.
“*bzzt* ... da...*bzz bzzt* .. anak muda..*bzzzt* .. bisa kau dengar aku? .. ... ..”
Secara intuitif, Alec langsung menoleh ke atas langit. dan .. mengejutkan.. nampak sebuah layar hologram berbentuk persegi panjang dan berwarna biru kehijauan yang mengapung di udara. Perlahan, dari dalam layar tersebut memunculkan sosok seorang pak tua berkacamata dengan rambut pendek yang sudah beruban. Pak tua itu pun berbicara.
“Anak muda, apa kau baik-baik saja?”
Alec masih terdiam memandang objek transparan yang berada di atas kepalanya itu. Rasa kantuk yang menyerangnya pun hilang seketika.
“Professor, tidak terlihat ada masalah yang serius pada sistem metabolisme di tubuhnya. Tekanan darahnya pun sudah mulai normal.”
“Bagus, orang baru. Lanjutkan monitoring nya.”
Selain sosok seorang paruh baya berseragam serba putih, ternyata di belakangnya ada orang lain yang bersuara seperti seorang remaja laki-laki. Jadi, dibalik layar itu ada dua orang yang berbicara. Sebaiknya aku membalas pertanyaan yang diberikan olehnya. Kemudian pak tua itu bertanya kembali dengan nada datar.
“Siapa namamu, anak muda?”
“Namaku... Alec.. Alecston Streiter. Dimana ini?”
Jika dipikir kembali, berkomunikasi dengannya bukanlah ide yang buruk. Mungkin mereka tahu cara untuk mengeluarkanku dari sini. Tidak lama setelah Alec memperkenalkan dirinya, terdengar suara lantang dari anak remaja yang tadi berbicara.
“Hah? Alec?? Jangan-jangan... Aleeeeec!!!”
“Hei, jangan berteriak!”
*Gusrak*
Dari tempat Alec berdiri, terlihat adegan dorong-mendorong yang sengit antara kedua orang di balik layar tersebut. “Ugh- orang baru! Apa-apaan?? Ah- Hei--- !” Pak tua itu terlihat sedikit kewalahan dan akhirnya menyingkir dari tangkapan kamera. Lalu.. terlihat sosok yang sama sekali familiar. “Kau benar Alec, kan???”
“Lho, C- Cody??? Sedang apa kau di sana??”
Dialah Cody, sahabat Alec yang ditemuinya di jalan setelah pulang berlatih basket pagi hari tadi. Sebelumnya, Cody mengatakan bahwa kepergiannya ke Jepang ditunda karena masih ada urusan yang harus dikerjakan. Dan urusan itu adalah bekerja lepas di perusahaan pengembang game paling fenomenal, Biotrix.
“Harusnya aku yang bertanya! Sedang apa coba seorang pembenci game di dalam dunia game??”
“Jadi.. dugaanku benar. Ini di dalam game..”
Kejadian yang dialami oleh Alec sebelum terdampar di tengah hutan, berawal dari membuntuti seorang gadis remaja yang ingin melakukan dive ke dalam dunia game VO. Kemudian dia malah terjebak di sebuah ruangan dan kehilangan kesadarannya setelah menyentuh suatu perangkat elektronik. Apalagi yang mungkin terjadi selain terlempar ke dalam game? Akan tetapi, itu saja belum menjelaskan apa-apa.
“Ya ampun-- Kalian saling kenal ya.”
Sosok pak tua berbadan kurus itu mendekati Cody sampai akhirnya mereka berdua terlihat dari layar monitor.
“Perkenalkan, aku Sugohara Daitou. Salah seorang peneliti yang mengembangkan proyek VO. Dan aku ingin menginformasikan bahwa saat ini.. kau berada di dalam dunia game Valthrone Online.”
Tunggu dulu. Itu artinya.. aku berada di dunia yang sama dengan Tyra? Ada sedikit pertanyaan yang muncul di pikiran Alec. Walaupun sebenarnya dia tahu, sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memikirkannya.
“Kalau begitu, beritahu aku cara untuk melakukan log out. Aku ingin segera keluar dari sini.”
Seperti game online pada umumnya, player dapat mengakses channel pada server dengan memasukkan login mereka. Sebaliknya, jika akses tersebut sudah tidak dibutuhkan maka player dapat keluar dari sistem tersebut dengan melakukan log out.
“Aku kan sudah bilang, Alec. Kau berada di dalam game.”
“Apa maksudnya?”, tanya Alec kebingungan.
“Ya, secara harfiah.. Tidak hanya kesadaranmu yang berpindah.. .. tetapi tubuhmu juga.. ikut berpindah ke dalam game.. ..”
“.. Hah.... ..? .”
Apa yang baru saja disampaikan secara dingin oleh Sugo, adalah hal paling absurd yang pernah Alec dengar. Berpindah ke dalam game? Apa lagi itu? Teknologi terbaru?
Memakai teknologi macam apa pun, memindahkan raga ke dalam dunia virtual merupakan sesuatu yang mustahil. Memecah partikel padat tubuh manusia menjadi potongan-potongan kecil kemudian diolah secara digital agar bisa dikirim melalui suatu jaringan komputer, setelah itu potongan-potongan tersebut disusun kembali dalam keadaan utuh.. Sungguh tidak masuk akal.
“Jangan main-main, Prof !!!”
“Inilah proyek rahasia yang sedang kukembangkan. Perangkat berbentuk tabung yang telah mengirimmu ke dalam sana adalah prototype dari DiverDrive versi lama yang masih dalam tahap penelitian lanjut.”
Cody hanya terdiam selagi Sugo menjelaskan. Tentu saja dia sudah tahu semuanya. Tetapi pada awalnya dia tidak menyangka kalau objek dari penelitian mereka adalah Alec, sahabatnya sendiri yang bahkan tidak memiliki ketertarikan terhadap apapun yang berhubungan dengan game.
“Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja pada temanmu. Bukan begitu, orang baru?”
“Eh? Ah- iya.. Aku sendiri kaget kalau objek kami adalah kau, Alec. .. .”
Alec masih tidak dapat berkomentar apa-apa. Objek? Jadi sekarang aku adalah kelinci percobaan? Dia sama sekali tidak percaya terhadap informasi konyol yang baru saja diberitahukan kepadanya. Sugo kembali melanjutkan pembicaraan.
“Apa kau ingat ketika pertama kali tersadar? Tubuhmu pasti merasakan efek samping dari proses pengumpulan ulang partikel.”
“.... ..”
“Kau juga dapat mengadakan kontak fisik secara langsung dengan berbagai objek di dalam game, termasuk fenomena alamiah layaknya di dunia nyata. Seperti rasa sakit, ketahanan tubuh, respirasi udara bahkan kemampuan jantungmu untuk memompa darah.”
Jika benar, hal itu merupakan masalah besar bagi Alec. Pada umumnya, setiap MMORPG menerapkan feature Health Point yang mengindikasikan parameter bisa dibiliang “nyawa” dalam permainan. Ketika nyawa dari player habis, biasanya mereka dapat “hidup” kembali di kota atau tempat lain yang sudah diprogram. Bagaimana jika... nyawa di dalam game.. mengimplementasi nyawa dari dunia nyata... ..?
Pikiran Alec mulai kacau. Semua yang disampaikan benar-benar tidak dapat diterima dengan akal sehat. Bahkan mereka membicarakan hal yang di luar batas kemampuan manusia biasa.
“Lalu, apa tujuanmu menciptakan alat itu?”, tanya Alec dengan lemas.
“Tidak, kau salah. Aku hanya mengembangkannya, bukan menciptakan.”
Di tengah pembicaraan yang serius itu, tiba-tiba terdengar suara raungan hewan buas dari arah belakang menuju tempat dimana Alec berdiri.
*grrrhh...* *groorrh*
“Alec!! Dibelakangmu!!!”, teriak Cody dengan keras.
Ketika Alec menengok ke belakang, muncul figur suatu makhluk yang serupa dengan hyena, memiliki taring besar layaknya pedang dan terdapat duri-duri tajam tumbuh di sepanjang tulang punggungnya. Kemungkinan makhluk itu terpancing dengan bau darah di lengan Alec.
“Anak muda! Cepat lari!! Bagaimanapun juga, kau adalah objek kami yang berharga!! Kau tidak boleh mati!!”
Rasa takut pun merajai pikiran dan juga tubuh Alec. Lututnya gemetar, dia tidak dapat bergerak sedikitpun. Sedangkan di depannya, monster karnivora berkaki empat dan berukuran cukup ramping sudah semakin dekat dan siap untuk menerkam...
Mati di dalam game sama dengan mati di dunia nyata? Tidak. Dalam kasusku, dunia virtual dan nyata sudah tercampur...
Aku harus melakukan sesuatu... ..
♦♦♦